Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan.
Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka
ditindas sampai akhir zaman.
(Soe Hok Gie)
Barangkali kutipan kalimat Soe Hok Gie tersebut sudah cukup menggambarkan bagaimana seharusnya peran mahasiswa. Entitas yang digadang-gadang sebagai agent of change, kontrol sosial, harapan bangsa dan lain sebagainya. Hal ini sungguh bertolak belakang dengan keadaan mahasiswa saat ini.
Dalam seremonial Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kali ini,
mahasiswa terkurung dalam sebuah sistem pendidikan yang memaksa mereka
hanya bisa kuliah, belajar, mengumpulkan tugas, dan diam. Saat ini,
mahasiswa dituntut harus lulus tepat waktu. Lalu pertanyaannya, kapan
waktu yang tepat untuk lulus bagi seorang mahasiswa? Sebagian besar umat
manusia di Indonesia, baik orang tua, dosen, maupun mahasiswa itu
sendiri saat ini tentu akan menjawab: mahasiswa S1 yang baik itu lulus 4
tahun. Keadaan dikontruksi sedemikian rupa hingga menciptakan sebuah
oposisi biner: Mahasiswa yang lulus 4 tahun dianggap berhasil, dan yang
lebih dari 4 tahun dianggap gagal.
Berbagai faktor mempengaruhi hingga mahasiswa dituntut harus lulus 4
tahun. Mulai dari mahalnya biaya kuliah, tuntutan orang tua, gengsi,
dan masih banyak lagi argumentasi dangkal yang menguatkan pendapat itu.
Malahan, ada sebuah peraturan lucu terkait lulus 4 tahun ini yang
diterapkan di Universitas Brawijaya (UB). Kebijakan itu diberi nama SPP
Progresif. Dalam buku pedoman pendidikan UB tertulis, mahasiswa program
sarjana yang melampaui masa studi empat tahun, maka besarnya SPP naik
15% pada tahun kelima, naik 30% pada tahun keenam, dan naik 45% pada
tahun ketujuh. Tentu saja kebijakan itu sangat tidak berpihak kepada
mahasiswa.
Tri Dharma Perguruan Tinggi yang diantaranya mengamanatkan
pendidikan atau pengajaran, penelitian/pengembangan, dan pengabdian
kepada masyarakat, yang kemudian Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut
diimplementasikan dalam Visi UB yang berbunyi: Menjadi universitas
unggul yang berstandar internasional dan mampu berperan aktif dalam
pembangunan bangsa melalui proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Sistem pendidikan dan berbagai kebijakan yang ada
saat ini tentu tidak sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. UB telah
mengkhianati Visi-nya sendiri.
Jika dianalisis, dari Tri Dharma Perguruan Tinggi itu yang
dilaksanakan hanya Pendidikan. Untuk penelitian dan pengabdian
masyarakat? Tentu dengan sistem yang ada saat ini mahasiswa dipaksa
untuk memilih hanya melaksanakan pendidikan saja. Berlomba-lomba
mendapatkan nilai bagus agar lulus 4 tahun. Untuk mahasiswa yang ingin
melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tentu kesusahan
untuk menyesuaikan dengan padatnya jadwal kuliah dan banyaknya tanggung
jawab tugas kuliah yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Akhirnya
lahirlah budaya-budaya praktis. Plagiatisasi menjadi alternatif di
tengah keterpaksaan ini. Pola pikir mahasiswa dibentuk menjadi apatis.
Pada gilirannya, kampus akan menciptakan generasi-generasi gagal! Yang
tadinya menjadi harapan bangsa, setelah lulus 4 tahun lalu menjadi beban
bangsa, karena minimnya kreativitas dan pengalaman yang didapat ketika
kuliah, sehingga saling berebut lapangan kerja yang sangat minim
jumlahnya dengan saingan begitu besar, tanpa bisa menciptakan lapangan
kerja baru.
Oleh karenanya, sudah selayaknya kita mempertanyakan kesungguhan
pemerintah atau kampus dalam melaksanakan pendidikan. Pendidikan seperti
apa yang diharapkan dari belajar dalam waktu empat tahun? Penelitian
seperti apa? Dan pengabdian seperti apa yang mampu diberikan kepada
masyarakat dalam waktu yang sesingkat itu, ditambah kesibukan lain di
bangku kuliah. Hal ini juga berdampak pada kemandirian mahasiswa.
Mahasiswa yang ingin hidup mandiri menjadi tidak sempat untuk kuliah
sambil bekerja, dan hanya mampu mengharap bantuan dari orang tua untuk
menanggung besarnya biaya kuliah. Belum lagi mahasiswa yang memiliki
bakat, baik di bidang seni maupun olah raga, yang tidak leluasa
mengembangkan bakatnya karena paksaan sistem yang ada.
Keadaan yang seperti ini hampir sama, jika dibandingkan dengan
kebijakan NKK/BKK dimasa orde baru. Atau mungkin, bisa dikatakan lebih
berbahaya saat ini, karena sifatnya yang laten dalam pembodohan
mahasiswa hingga tak mampu lagi bertindak sebagai agent of change dan
kontrol sosial. Maka mari pertanyakan kembali, apakah 4 tahun waktu yang
tepat untuk lulus? Apa cukup menjadi mahasiswa hanya dalam waktu 4
tahun? Untuk mengakhiri tulisan ini, ada baiknya mengutip pernyataan
Pramoedya Ananta Toer, “Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya
untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humaniora memang indah bila
diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan
toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian,
mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya.”
*Ditulis pada peringatan Hardiknas tahun lalu
Komentar