Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Ironi Kehidupan di Negeri Pelupa


Pada suatu ketika, di pojokan kamar seorang diri, baru saja meminum setengah botol bir, tanpa sadar aku tertidur. Dalam tidurku itu, entah terpengaruh kadar alkohol, sepertinya datang begitu saja, aku bermimpi. Aku bermimpi sedang terdampar di sebuah negeri yang begitu indah. Dalam mimpi itu, aku melihat sebuah negeri yang kaya. Aku berjalan mengelilingi tanahnya yang subur. Menengok begitu banyak potensi negeri ini. Ku temui beberapa orang. “Permisi tuan, sedang berada di negeri mana saya sekarang?” tanyaku penasaran. Tapi tak ada jawab yang lain, sudah lima orang ku hampiri, yang ku sambar dengan pertanyaan serupa. Jawaban selalu “lupa” katanya. Lupa? Bagaimana mereka bisa lupa sedang berada dimana? Mereka semua lupa dengan negeri yang begitu indah ini? Hatiku mulai dongkol. Pikirku, mereka semua tidak ramah dengan orang asing. Tak mau menjawab pertanyaan yang kulontarkan, sedari tadi, hingga sekarang. Begitu dongkolnya hati ini hingga mencuat emosi, meluber, ingin ku cakar semua wajah mereka, karena mempermainkan rasa penasaranku.

Namun kedongkolanku seketika hilang setelah kembali terpesona (lagi-lagi), dengan keindahan bumi yang sedang ku injak itu. ”Subbhanallah,” ucapku. Pantai, gunung, dan berbagai tempat lain yang begitu indah, mampu mengalihkan kedongkolanku.

Tak berhasil menemukan jawaban negeri apa ini, aku pun (harus) terus tinggal disini. Hari demi hari kulalui tanpa seorang pun yang ku kenal. Untungnya negeri ini begitu “baik hati”, tanpa mengenal siapapun, tanpa bekerja, aku masih bisa makan. Hasil kesuburannya yang memberi ku berkah. Aku hidup berkelana. Singgah dari suatu tempat ke tempat lain. Di setiap tempat, ada saja yang membuatku kagum.

Setelah setahun tinggal disini, aku mulai mengerti keadaan masyarakatnya. Dari berbagai kejadian, aku mulai mengamati. Pemerintahan disini terbilang bobrok. Rakyatnya juga aneh. Baik rakyat maupun pemerintah terlihat mudah “dikendalikan”. Entah siapa yang mengendalikannya.

Suatu ketika, terjadi sebuah kasus besar, korupsi namanya. Konspirasi yang melibatkan pemerintah dan elit-elit lainnya terjadi. Sebuah bank bernama Century terjerat dalam kasus itu. Rakyat dengan lantang memprotes pemerintah. Media massa heboh. Namun kehebohan itu hanya berjalan beberapa hari sebelum kasus lainnya datang. Kehebohan kasus Century tertutupi oleh kasus video mesum mirip artis ternama. Video berdurasi beberapa menit itu membuat rakyat melupakan kasus Century. Aku terheran-heran. Dan keherananku itu membuat aku mengerti. Membuat aku sadar mengapa ketika awal aku sampai di negeri ini banyak orang yang lupa sedang tinggal dimana, ya aku paham.

Waktu terus berjalan, aku masih terus berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Dan berbagai kasus yang serupa dengan Century, terjadi lagi, sama besarnya, sama hebohnya, dan rakyat juga memprotes dengan keras, dan sama dengan Century, begitu cepat dilupakan, dialihkan dengan isu banalitas. Kali ini kasus kerusuhan suporter (sepakbola) yang membuat rakyat lupa dengan kasus yang heboh itu.

Tapi, tenang, masih banyak keanehan lain di negeri ini yang disebabkan oleh lupa. Tidak hanya rakyatnya yang lupa. Ternyata pemerintah juga lupa akan cita-cita awal bangsa ini terbentuk. Konon, bangsa ini terbentuk dari perjuangan keras para pahlawan untuk merebut kemerdekaan dari para penjajah. Para pendiri bangsa ini menginginkan negeri ini berdiri di kaki sendiri. Dan saat ini, pemerintah banyak menjual aset-aset negara. Membuka lebar keran-keran pasar bebas. Memunculkan undang-undang yang memungkinkan negeri ini dijajah dari segi “kekayaan alamnya”. Buktinya, saat ini negeri yang kaya ini hampir seluruh kekayaannya dikuasai asing. Pemerintah lagi-lagi (benar-benar) lupa cita-cita bangsa ini.

Sementara terus mengamati keanehan negeri ini, aku terus berkelana, entah tahu ada di mana. Hingga pada suatu pagi, di bawah pohon cemara, aku bertemu dengan seorang pria. Ia menghampiriku dan berkata, “aku tidak lupa”. Mendengar kalimat itu aku terkejut. Siapa orang ini. Apa maksud dari ucapannya. Aku bertanya-tanya dalam hati. “Aku masih ingat saat-saat mencekam itu, saat aku bersama kawan-kawan seperjuangan menolak pembangunan gedung itu,” ungkapnya sambil menunjuk sebuah gedung di seberang jalanan khas kota besar, Matos namanya, sejauh yang ku dengar dari percakapan itu. “Saat itu aku dan kawan-kawan, (mungkin sampai saat ini) sampai baku hantam dengan polisi untuk tetap mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH), di atas gedung yang kokoh itu,” lanjutnya sembari mengenang, sembari mengingat, dengan susah payah. Ia terus bercerita panjang lebar mengenai memori kejadian itu.

Baru ku ketahui, ternyata orang ini seorang mantan mahasiswa yang dulu ikut berdemo memperjuangkan penolakan pembangunan Matos. Aku beri hormat padanya untuk ingatannya, yang tidak lupa, yang masih terawat. Mungkin Ia satu-satunya orang yang tidak “lupa” di negeri ini. Semabri Ia menyayangkan, banyak adik-adik tingkatnya di kampus yang justru saat ini sering menghabiskan waktu dan uang di gedung itu. “Sampai saat ini aku saja belum pernah menginjakkan kaki di mall itu, sejak berdiri, sampai sekarang. Hati ku miris melihat banyak mahasiswa yang tanpa merasa berdosa melupakan perjuangan angkatan-angkatan sebelumnya, para pendahulu mereka,” keluhnya sambil menawarkan sebatang rokok padaku.”Bahkan ada yang dengan bangga mengikuti kontes kecantikan yang diadakan di mall itu,” imbuhnya dengan raut muka semakin geram. “Keringat dan luka lebam kawan-kawan saat itu sekarang jadi sia-sia”.

Ironis memang mengamati kehidupan di negeri ini. Tak hanya rakyat dan pemerintahnya yang mudah sekali lupa. Bahkan kaum intelektual yang disebut mahasiswa juga terjangkit penyakit lupa ini. Dengan senyum yang khas orang itu berpamitan dan pergi meninggalkanku, tanpa memberitahukan siapa namanya, ah, mana mungkin ia lupa dengan namanya, tapi di negeri ini, itu mungkin terjadi. Karena itu Aku tak bertanya, masih takut bila mendapat jawaban, “lupa”.

Setelah cukup bosan berkelana di negeri ini, aku coba untuk keluar dari negeri antah berantah ini. Tapi, masalahnya, aku tak tahu berada di negeri apa dan di mana. Tak tahu juga harus lewat mana untuk keluar. Karena rakyatnya selalu menjawab dengan kata“lupa”, aku jadi bosan, bingung dan lelah dengan keadaan di negeri ini. Sampai pada akhirnya aku teringat pada botol bir yang masih terisi setengah. Aku ingat, ini hanya mimpi! Aku mencoba untuk bangun dari mimpi dan menghabiskan sisa bir di pojokan kamarku. Namun, aku menjadi “lupa” bagaimana cara untuk bangun dari mimpi ini. Aku tak bisa pergi dari mimpi ini. Entah karena tertular penyakit lupa dari negeri ini, atau karena pengaruh bir itu. Aku tak tahu. Mungkinkah, jika Aku juga “lupa”.

Komentar