Sajak Ungkapan Hati (1)
-kesaksian pada Yang Esa-
pada lukisan langit dan pasir pantai, serta ombak
yang begitu genit pada sunyi sehingga mengusung desir
di mana pagi perlahan menghisap temaram
mengulumnya bersama dosa atau apa saja sebutnya
dan, bersaksilah semua
betapa Dia menyusun megah bangunan cinta
dengan semilir angin pelepas rindu
dari muara rahasia aku, engkau, dan Dia
Gatra, April 2016
Sajak Ungkapan Hati (2)
- kepada R -
walau Tuhan maha tahu segala apa
aku tetap akan menumpahkannya dalam doa
bahwa aku mencintaimu bersama takdir kita
alasannya sederhana,
agar tiada sandiwara
antara aku dengan-Nya
tentang mukjizat suci, dan harakat-harakat
dari segenggam cahaya
yang mengundang bahagia
sebagaimana patuh-tulus malaikat
mengamati tiap tetes hujan, sehingga
adil mendamaikan masing-masing butir airnya
Sajak Ungkapan Hati (3)
sebab cinta adalah dunia tanpa bahasa tanda tanya
apalagi titik koma budaya selepas Adam-Hawa
bercinta di antara ular tatkala telah menjelma dunia
logika teramat cermat sebelum tersihir kata-kata
kepalsuan, yang melecehkan hakikat itu
adalah sebab terjerumusnya setetes makna
menuju segunung dosa bersama sesal
di antara batas ada yang tiada meski remang
berselimut tatapan nanar penuh tumpukan
empat kitab yang dikhianati atas nama diri
dan, seperti Sinta yang terpaksa menikahi Rama
sambil menikmati pesona Rahwana dalam sunyi
sebelum kera-kera bersayap putih, mengeluh buta
hingga cinta meranum masam di pelepah bahasa
Sajak Ungkapan Hati (4)
akan kuremukkan api-hasratku
pada bahasa tanpa kata atau frasa
agar terjaga oleh sunyi-rahasiaku
selain itu, supaya ia padam
teredam pedih-dukaku
yang menjeritkan dendam-dendam nestapa
dalam malam, dalam bayang-rinduku, dalam tiap kecut senyummu.
Malang, Juni 2016
Sajak Ungkapan Hati (5)
-tentang legenda sepakbola Surabaya-
Subuh teramat lepas, lirih-lirih
berkumandang. Dan aku
masih bersama rindu yang rindu,
yang rindu, yang rindu sekali. Dan engkau
masih pulas, melewatkan secawan kenang. Dan kita
belum benar-benar paham, betapa temaram
mengajarkan manisnya menyeduh sepi.
Sepi yang belum ada padanannya, meski
hampir genap sembilan dekade gaungmu.
Ini perihal cinta, kata mereka yang meregang nyawa,
atau yang menikmati jeruji besi,
atau pengasong kopi, atau siapa saja yang setia berdiri.
Tapi ada saja. Birokrat-birokrat di tanah lahirmu
itu bisu. Baiknya kusebut saja pilu,
sebab birokrat itu, sibuk menggali kubur dan memahat nisanmu
di tanah ini. Tanah lahirmu yang begitu indah tapi
sepi tanpa pesona penuh cerita itu. Dan
ribuan napas, keringat, juga tangis pria-wanita
senantiasa menagih masa lalu.
Malang, 18 Juni 2016
**Pernah dimuat di Radar Surabaya edisi Minggu, 31 Juli 2016.
Komentar