Dingin masih begitu terasa
menusuk-nusuk tulang ketika mentari mulai malu-malu menampakkan kilaunya dari
ufuk timur. Sepagi ini, aku telah menghisap tiga batang rokok, tak lupa
secangkir kopi yang menemani. Aku teringat kalimat terakhirmu malam itu.
“Gusti mboten nate sare, Kanda,”
begitu ucapmu usai engkau menyampaikan sepucuk surat padaku. Surat yang nyaris
membuat jantungku pecah, hampir menghentikan aliran darah dalam tubuhku. Pada
surat yang terbuat dari bahan berjenis art paper berwarna cokelat itu,
tercantum tanggal pernikahan dan nama terang calon suamimu.
Ya, engkau sendiri yang mengantarkan
surat undangan itu padaku. Aku merasakan malam semakin pekat, kala langkahmu
terhenti di depan pintu, sekaligus membuat derai air matamu semakin deras
ketika aku membuka pintu itu. Motor berwarna merah-hitam yang terparkir di
halaman rumah sudah tak mampu memprediksi lagi kemana akan dikendarai
pemiliknya setelah digunakan untuk mengantar surat.
Aku meraba-raba maksud kedatanganmu
yang tiba-tiba. Ternyata benar, engkau mengirimkan surat undangan pernikahan
dengan pria pilihan orang tuamu. Malam itu juga, engkau memberi pilihan padaku.
Dengan sedikit memaksa, engkau pinta aku menculikmu. Membawamu ke suatu tempat
yang jauh, agar kau terhindar dari tanggal pernikahan yang kau sendiri tak
kehendaki terjadi.
Masih terekam dengan jelas dalam
ingatanku saat kau tolak ajakanku masuk ke dalam rumah. Kala itu, dengan
sedikit berucap kalimat-kalimat rayuan, akhirnya kau menggerakkan kaki menapak
melewati daun pintu.
***
Di ruang tamu yang hening, hanya
ditemani sejumlah perabot usang, kita berdua sama-sama berfikir mencari solusi.
Tidak. Rupanya hanya aku yang berfikir, karena kau terus mendesak agar aku
menculikmu.
“Bukan aku tak mau. Bukan juga aku
tak berani melakukan sesuatu untuk mempertahankan cinta kita. Tapi apa ini
jalan satu-satunya?,” tanyaku dengan penuh keraguan lantaran aku sendiri sudah
tahu apa jawaban yang akan terucap olehmu.
Malam itu juga aku memintamu untuk
pulang. Aku memaksamu agar kau patuh terhadap apa yang diinginkan orang tuamu.
“Jadi kau tidak ingin berusaha
mempertahankan hubungan ini, Kanda? Aku menyesal mengantarkan surat ini seorang
diri,”
“Jika memang begitu caramu memandang
keputusanku, belajarlah memahami caramu memandang akan sesuatu, Dinda,”
Aku sengaja memintamu kembali. Malam
itu juga, tanpa kuucapkan pada siapapun, sebelum gadis pujaanku ini pergi
meninggalkan aku dan rumahku, aku mendapat sebuah bisikan. Suara yang entah
dari mana asalnya namun begitu jelas dan tidak bisa tidak membuat aku menuruti
bisikan itu. Bisikan yang terdengar bukan dari mulut gadis ini terasa saat aku
menatap matamu, Adinda.
“Gusti mboten nate sare,
Kanda,” inilah kalimat terakhirmu yang
sekaligus mengakhiri perjumpaan kita malam itu. Aku tak memperhatikan arah
jalanmu saat kau telah tiada tampak lagi sepanjang mataku memandang.
***
Hari demi hari kulalui dengan risau
akibat luka yang menyayat sejak peristiwa malam itu. Namun aku mencoba ikhlas.
Aku belajar mencintai dengan melepaskan. Sampai akhirnya tiba hari ini, hari
yang tercantum pada undangan pernikahan itu.
Dengan langkah gontai aku mencoba
beranjak untuk menghadiri akad nikahmu. Ku awali langkah dengan menyalakan
batang rokok yang ke-empat dan meninggalkan secangkir kopi yang tinggal
ampasnya.
Belum sampai kakiku tiba di pintu, terdengar
suara motor yang begitu nyaring. Aku hafal benar suara itu, motor berwarna
merah-hitam yang dimiliki gadis pujaanku. Aku bergegas menggapai gagang pintu
dan membukanya untuk membuktikan keraguan atas pendengaranku sendiri.
Wajah tak asing tampak, namun kali
ini dengan begitu sumringah berlari dan tiba-tiba memelukku. “Ayo kita
menikah,” katamu saat aku belum sempat menanyakan maksud kedatanganmu.
Tiba-tiba aku teringat bisikan yang
kudengar entah dari mana saat malam terakhir kau mengunjungi rumah murung ini.
Bisikan yang mengantarkan kita dalam kondisi hari ini.
***
“Iklaskan. Tuhan akan menunjukkanmu
jalan yang terbaik bagimu,” begitu suara yang kudengar saat aku menatap matamu
kala itu. Mungkin engkau sendiri yang mengatakan lewat mata hatimu, atau Yang
Maha Cinta yang langsung mengirimkan suara itu. entahlah.
Tanpa aku minta, kau menjelaskan
bahwa calon suamimu tiba-tiba membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas.
Dari mulutmu juga, aku mendengar seketika keluargamu menggali informasi terkait
pembatalan oleh calon suamimu. Dari penyelidikan itu, diketahui, calon suamimu
ternyata memilih orang lain untuk dinikahi.
“Dia menikah dengan orang yang telah
dihamilinya,” ujarmu sembari bersyukur tidak jadi menikah dengan orang yang
bukan pilihanmu sendiri. “Bagaimana Kanda? Apa Kanda bersedia menikah denganku
hari ini juga?,” .
Tanpa menjawab aku langsung
mengajakmu masuk ke dalam rumah untuk menyampaikan maksud kita berdua kepada
orang tuaku. Gayung bersambut. Aku mendapat restu.
Pagi itu juga aku semakin menemukan
kebesaran Yang Maha Cinta. Dari pancaran matamu, aku mendapat arahan menuju
jalan yang dikehendaki-Nya. “Gusti mboten nate sare, Kanda,”.
Komentar