Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Tidak, Aku Ikhlas Adinda



            Dingin masih begitu terasa menusuk-nusuk tulang ketika mentari mulai malu-malu menampakkan kilaunya dari ufuk timur. Sepagi ini, aku telah menghisap tiga batang rokok, tak lupa secangkir kopi yang menemani. Aku teringat kalimat terakhirmu malam itu.

            “Gusti mboten nate sare, Kanda,” begitu ucapmu usai engkau menyampaikan sepucuk surat padaku. Surat yang nyaris membuat jantungku pecah, hampir menghentikan aliran darah dalam tubuhku. Pada surat yang terbuat dari bahan berjenis art paper berwarna cokelat itu, tercantum tanggal pernikahan dan nama terang calon suamimu.


            Ya, engkau sendiri yang mengantarkan surat undangan itu padaku. Aku merasakan malam semakin pekat, kala langkahmu terhenti di depan pintu, sekaligus membuat derai air matamu semakin deras ketika aku membuka pintu itu. Motor berwarna merah-hitam yang terparkir di halaman rumah sudah tak mampu memprediksi lagi kemana akan dikendarai pemiliknya setelah digunakan untuk mengantar surat.

            Aku meraba-raba maksud kedatanganmu yang tiba-tiba. Ternyata benar, engkau mengirimkan surat undangan pernikahan dengan pria pilihan orang tuamu. Malam itu juga, engkau memberi pilihan padaku. Dengan sedikit memaksa, engkau pinta aku menculikmu. Membawamu ke suatu tempat yang jauh, agar kau terhindar dari tanggal pernikahan yang kau sendiri tak kehendaki terjadi.

            Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku saat kau tolak ajakanku masuk ke dalam rumah. Kala itu, dengan sedikit berucap kalimat-kalimat rayuan, akhirnya kau menggerakkan kaki menapak melewati daun pintu.

***
            Di ruang tamu yang hening, hanya ditemani sejumlah perabot usang, kita berdua sama-sama berfikir mencari solusi. Tidak. Rupanya hanya aku yang berfikir, karena kau terus mendesak agar aku menculikmu.

            “Bukan aku tak mau. Bukan juga aku tak berani melakukan sesuatu untuk mempertahankan cinta kita. Tapi apa ini jalan satu-satunya?,” tanyaku dengan penuh keraguan lantaran aku sendiri sudah tahu apa jawaban yang akan terucap olehmu.

            Malam itu juga aku memintamu untuk pulang. Aku memaksamu agar kau patuh terhadap apa yang diinginkan orang tuamu.

            “Jadi kau tidak ingin berusaha mempertahankan hubungan ini, Kanda? Aku menyesal mengantarkan surat ini seorang diri,”

            “Jika memang begitu caramu memandang keputusanku, belajarlah memahami caramu memandang akan sesuatu, Dinda,”

            Aku sengaja memintamu kembali. Malam itu juga, tanpa kuucapkan pada siapapun, sebelum gadis pujaanku ini pergi meninggalkan aku dan rumahku, aku mendapat sebuah bisikan. Suara yang entah dari mana asalnya namun begitu jelas dan tidak bisa tidak membuat aku menuruti bisikan itu. Bisikan yang terdengar bukan dari mulut gadis ini terasa saat aku menatap matamu, Adinda.

            “Gusti mboten nate sare, Kanda,”  inilah kalimat terakhirmu yang sekaligus mengakhiri perjumpaan kita malam itu. Aku tak memperhatikan arah jalanmu saat kau telah tiada tampak lagi sepanjang mataku memandang.

***
            Hari demi hari kulalui dengan risau akibat luka yang menyayat sejak peristiwa malam itu. Namun aku mencoba ikhlas. Aku belajar mencintai dengan melepaskan. Sampai akhirnya tiba hari ini, hari yang tercantum pada undangan pernikahan itu.

            Dengan langkah gontai aku mencoba beranjak untuk menghadiri akad nikahmu. Ku awali langkah dengan menyalakan batang rokok yang ke-empat dan meninggalkan secangkir kopi yang tinggal ampasnya.

             Belum sampai kakiku tiba di pintu, terdengar suara motor yang begitu nyaring. Aku hafal benar suara itu, motor berwarna merah-hitam yang dimiliki gadis pujaanku. Aku bergegas menggapai gagang pintu dan membukanya untuk membuktikan keraguan atas pendengaranku sendiri.

            Wajah tak asing tampak, namun kali ini dengan begitu sumringah berlari dan tiba-tiba memelukku. “Ayo kita menikah,” katamu saat aku belum sempat menanyakan maksud kedatanganmu.

            Tiba-tiba aku teringat bisikan yang kudengar entah dari mana saat malam terakhir kau mengunjungi rumah murung ini. Bisikan yang mengantarkan kita dalam kondisi hari ini.

***
            “Iklaskan. Tuhan akan menunjukkanmu jalan yang terbaik bagimu,” begitu suara yang kudengar saat aku menatap matamu kala itu. Mungkin engkau sendiri yang mengatakan lewat mata hatimu, atau Yang Maha Cinta yang langsung mengirimkan suara itu. entahlah.

            Tanpa aku minta, kau menjelaskan bahwa calon suamimu tiba-tiba membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas. Dari mulutmu juga, aku mendengar seketika keluargamu menggali informasi terkait pembatalan oleh calon suamimu. Dari penyelidikan itu, diketahui, calon suamimu ternyata memilih orang lain untuk dinikahi.

            “Dia menikah dengan orang yang telah dihamilinya,” ujarmu sembari bersyukur tidak jadi menikah dengan orang yang bukan pilihanmu sendiri. “Bagaimana Kanda? Apa Kanda bersedia menikah denganku hari ini juga?,” .

            Tanpa menjawab aku langsung mengajakmu masuk ke dalam rumah untuk menyampaikan maksud kita berdua kepada orang tuaku. Gayung bersambut. Aku mendapat restu.

            Pagi itu juga aku semakin menemukan kebesaran Yang Maha Cinta. Dari pancaran matamu, aku mendapat arahan menuju jalan yang dikehendaki-Nya. “Gusti mboten nate sare, Kanda,”.


          

Komentar