Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Diskrimasi Kulit Putih terhadap Kulit Hitam dalam Olahraga


Rasisme dan diskriminasi rasial merupakan salah satu masalah besar yang ada sejak berabad-abad lalu. Masalah inilah yang sedang dihadapi oleh warga dunia hingga saat ini. Isu yang dilatarbelakangi keanekaragaman ras manusia ini telah lama menjadi isu atau masalah serius yang sepatutnya mendapatkan perhatian lebih, bukan hanya oleh korban rasisme dan penggiat anti diskriminasi rasial, melainkan juga oleh negara, pemerintah, dan masyarakat sendiri. Olahraga juga tak lepas dari masalah rasisme ini. Rasisme dalam olahraga adalah sebuah kebodohan. Di dalam olahraga, yang paling sering terjadi adalah diskriminasi rasial akibat perbedaan warna kulit. Olahraga adalah milik semua umat manusia terlepas dari apapun ras, agama, dan segala atribut sosial lainnya. Namun faktanya, hingga saat ini – meski sudah gencar dilaksanakan kampanye anti rasisme di seluruh dunia – tidak semua orang mendapat perlakuan sama dalam olahraga, entah disengaja atau tidak. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat masih banyaknya pelaku olahraga kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil di dalam ataupun di luar pertandingan. Oleh karenanya, disini kita akan membahas diskriminasi kulit putih terhadap kulit hitam dalam olahraga, dalam kaitannya dengan teori-teori psikologi komunikasi.

Beberapa tahun yang lalu di Liga Spanyol, pemain Barcelona Samuel Eto’o yang berkulit hitam mendapat tindakan tak mengenakan dari supporter lawan. Saat Samuel Eto’o menguasai bola, supporter lawan selalu mengeluarkan suara-suara menyerupai monyet. Menerima tindakan tersebut, Eto’o pun sangat kecewa dan sempat ingin keluar dari lapangan saat pertandingan masih berlangsung. Beruntung rekan-rekan satu timnya berhasil membujuk dan memberikan semangat kepada Eto’o untuk terus bermain. Tindakan tersebut sangat mencoreng persepakbolaan yang merupakan salah satu cabang olahraga populer di dunia.

Ada suatu keseragaman aneh dalam cara menonton Bola di Eropa mengekspresikan kebenciannya pada orang kulit hitam. Biasanya terkait Bangsa Primata. Walaupun lama-kelamaan sudah berkurang, orang Inggris dan Italia mengembangkan tradisi membuat suara-suara monyet ketika pemain kulit hitam memegang bola. Orang Polandia melempar pisang ke lapangan. Ekspresi ini sudah menjadi tradisi rakyat sebenua, yang ditularkan lewat stadion dari penggemar ke penggemar, dari ayah ke anak (Foer, 2004). Mungkin keseragaman aneh tersebut yang mempengaruhi pemilihan manajer atau staf pada suatu klub profesional di Liga Inggris. Hingga saat ini, jarang sekali kita temukan orang kulit hitam menjadi manajer atau staf pada suatu klub profesional di Liga yang terkenal paling bergengsi tersebut. Hampir semua klub profesional di Liga Inggris menggunakan jasa kulit putih untuk manajer atau stafnya. Menurut Baron & Byrne (1991), dalam situasi ini bisa di kategorikan sebagai prasangka dimana sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok. Selain itu, situasi tersebut berbanding lurus dengan teori Soekanto (1993) yang menyebutkan bahwa adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu.

Di Liga Indonesia, yang paling sering menjadi korban diskriminasi ini adalah tim-tim dari Papua: Persipura Jayapura, Persiwa Wamena, Persidafon Dafonsoro, Perseman Manokwari, dan tim-tim lain dari Bumi Cendrawasih. Pada awal Februari 2012 lalu, pertandingan antara Persija vs Persiwa di Stadion Mandala Krida, Jogjakarta berakhir rusuh. Penyebabnya adalah wasit memberi hadiah pinalti pada Persija setelah salah seorang pemain Persiwa dianggap handball di kotak pinalti. Namun sebenarnya bukan hal itu yang menyulut kemarahan pemain dan suporter Persiwa. Sebelumnya, suporter Persija selalu mengeluarkan suara menyerupai monyet setiap pemain Persiwa memegang bola. Kemarahan suporter Persiwa terakumulasi sehingga mereka tidak mampu menahan diri dan akhirnya melampiaskannya. Wasit dan suporter persija menjadi sasaran amuk suporter Persiwa tersebut. Beberapa hari berikutnya, hal yang sama, di tempat yang sama pula terjadi lagi kerusuhan. Kali ini menimpa Persipura, juga saat dijamu Persija. Selain menimpa pemain papua, rasisme juga sering menimpa pemain asing kulit hitam yang bermain di Liga Indonesia.

Kisah rasisme dalam olahraga Amerika Serikat tak jauh berbeda. Simon Kuper dan Stefan Szymanski (2009: 118) menulis:
Setelah Perang Dunia II, bisbol dan basket memisahkan orang-orang kulit hitam ke dalam “liga negro”. Pada tahun 1947, Branch Rickey dari Brooklyn Dodgers melanggar aturan tak tertulis dalam bisbol dengan menyewa pemain kulit hitam, Jackie Robinson, untuk bermain dalam timnya. Robinson akhirnya menjadi pahlawan Amerika. Namun, hal ini tak terlepas dari masalah ekonomi. Dodgers memiliki lebih sedikit dana daripada tetangga mereka, New York Yankees. Jika Rickey ingin menang, ia harus menemukan bakat yang tidak digubris pemilik tim lainnya. Rasisme memberinya kesempatan.
            Namun, diskriminasi terhadap pemain kulit hitam masih tetap ada dalam olahraga Amerika lama setelah masa Robinson. Lawrence Kahn, seorang ahli ekonomi dari Cornell University, memeriksa datanya dan menemukan sedikit bukti bahwa sebelum tahun 1990an, tim bisbol menahan pekerjaan atau bayaran pemain kulit hitam. Namun, menurutnya, tim-tim tadi hanya memberikan karir pendek bagi pemain kulit hitam, dan hanya menggunakan mereka untuk posisi-posisi tertentu. Dalam basket, Kahn berhasil menemukan diskriminasi penghasilan.
Kasus ini bisa dikaitkan dengan teori Daft (1999), yang memberikan definisi prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Prasangka, menurut Poortinga (1990), memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi.

Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan dikukuhkan dalam empat cara: (1) stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain. Dalam hal ini orang kulit hitam di pandang sebelah mata, dimana sering dijadikan buruh atau budak oleh ras kulit putih; (2) stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagai tipikal sama. Kulit putih menganggap semua orang dari ras kulit hitam adalah sama lemah dan hanya pantas menjadi budak, meskipun di antaranya memiliki keahlian; (3) stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman; (4) stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang. Dalam ciri-ciri stereotip tersebut, dapat kita lihat sebagai contoh ketika Branch Rickey melanggar aturan tak tertulis dalam bisbol dengan menyewa pemain kulit hitam, Jackie Robinson, untuk bermain dalam timnya.

Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan: (1) keinginan untuk saling berbagi; (2) keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan; (3) keinginan untuk bekerja bersama; (4) keinginan yang berhubungan dengan pernikahan. Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada diantara berbagai kelompok cukup besar. Apabila dua etnis, misalnya kulit hitam dan kulit putih dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Di Afrika Selatan, terdapat sebuah tempat bernama Cape Flats – tempat tinggal kelompok orang berkulit lebih terang, kebanyakan merupakan keturunan suku Afrika berkulit terang dari Cape Town. Disanalah tempat kebanyakan pemain terbaik Afrika Selatan tumbuh dewasa. Di area kulit berwarna di Cape Flat, terdapat klub-klub sepakbola amatir dengan pelatih yang cukup kompeten seperti di Eropa. Tidak demikian di permukiman kulit hitam, tim anak laki-laki biasanya dikuasai oleh ganster lokal atau pemilik bar ilegal, yang jarang peduli mengenai pelatihan (Kuper dan Szymanski, 2009). Disini terjadi jarak sosial yang cukup besar antara orang-orang di pemukiman kulit hitam dan orang-orang dari Cape Flats. Ini juga yang menyebabkan pemain kulit hitam Afrika Selatan sulit berkembang dibandingkan dengan pemain kulit berwarna, sehingga tidak mampu bersaing untuk mendapatkan tempat di tim Bafana (julukan Tim Nasional Afrika Selatan), apalagi dengan penduduk Eropa. Kayanya talenta kulit berwarna ini merupakan warisan Apartheid. Dalam sistem Apartheid, terdapat diskriminasi, dimana kaum kulit berwarna lebih baik ketimbang kaum kulit hitam. Terlihat jelas bagaimana sistem tersebut masih diterapkan secara informal dalam kegiatan sehari-hari warga Afrika selatan.

Menurut Sears, Freedman & Peplau (1999), diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok. Dalam kasus olahraga Amerika seperti yang telah ditulis diatas, terdapat diskriminasi terhadap pemain kulit hitam dalam olahraga Amerika lama setelah masa Robinson. Dimana sebuah tim bisbol menahan pekerjaan atau bayaran pemain kulit hitam, serta hanya memberikan karir pendek bagi pemain kulit hitam, dan hanya menggunakan mereka untuk posisi-posisi tertentu. Melihat kasus tersebut, diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy dan Wong, 1996).

Banyak pihak menganggap bahwa lahirnya tekhnologi komunikasi yang mutakhir di abad media massa ini sebagai penyebab utama menularnya diskriminasi rasial. Namun anggapan itu tidak berdasarkan fakta di lapangan. Memang, media massa memiliki efek besar dalam mempengaruhi dan membentuk pola pikir dan perilaku publik. Kenyataannya, acara-acara televisi, radio, ataupun surat kabar jarang membicarakan hal-hal yang berbau sara, karena dianggap pemberitaan yang tidak mendidik dan dapat memicu konflik yang berkepanjangan. Sebaliknya, justru media sering terlihat aktif dalam kampanye anti diskriminasi rasial, khususnya di cabang olahraga. Media sering terlihat mengemas berita tentang diskriminasi rasial dalam olahraga dengan sudut pandang kemanusiaan. Seharusnya berita yang dikemas dalam sudut pandang kemanusiaan tersebut lebih sering ditampilkan, untuk memberikan kesadaran kepada publik akan efek dari diskriminasi rasial, bahwa sebenarnya melakukan diskriminasi rasial memang benar-benar tidak penting dan hanya menimbulkan efek negatif, bagi korban ataupun pelaku.

Semangat kebersamaan harus dibangun untuk mengurangi – jika memang tidak bisa dihilangkan – tindakan diskriminasi rasisial. Terlebih, dalam olahraga idealnya sportivitas   harus dijunjung tinggi, termasuk semangat tanpa membeda-bedakan warna kulit. Dalam dunia olahraga, tidak ada satu pun golongan yang memiliki superioritas lebih tinggi dari golongan lain. Termasuk pemain kulit putih, tidaklah lebih superior dari pemain kulit hitam, begitu pun sebaliknya. Dengan meningkatkan semangat kebersamaan, maka akan terjadi pembauran tanpa memandang perbedaan sebagai sebuah ancaman. Kesadaran bahwa perbedaan merupakan sebuah kekuatan harus terus dibangun.

Memang, untuk menumbuhkan semangat kebersamaan butuh proses, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit. Oleh karenanya, semua pihak yang terlibat, dalam hal ini adalah induk organisasi olahraga (federasi), aparat yang berwenang, pelaku olahraga, serta media massa harus berperan aktif dalam melakasanakan misi mulia ini. Federasi harus berani menindak tegas oknum-oknum pemain – atau pelaku olahraga lainnya – kulit putih yang melakukan pelecehan atas nama ras terhadap kulit hitam. Apabila tindakan pelecehan tersebut dilakukan diluar lapangan, maka aparat yang berwenang – polisi – wajib untuk turun tangan menyelesaikan masalah tersebut di ranah hukum. Pelaku harus dijerat sesuai dengan pasal dalam undang-undang yang berlaku. Sehingga mampu menimbulkan efek jera bagi si pelaku, serta menjadi sebuah pelajaran bagi yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Pemain kulit hitam dan kulit putih juga harus saling mendekatkan jarak sosial diantara mereka, lebih sering melakukan komunikasi yang nantinya akan membuat mereka semakin akrab. Sementara itu, media massa harus lebih giat dalam mensosialisasikan kampanye anti rasisme dan diskriminasi rasial. Dengan demikian publik mendapatkan pembelajaran mengenai pentingnya kebersamaan. Jika masing-masing pihak melaksanakan perannya dengan baik, maka bukanlah mimpi lagi, akan tercipta sebuah olahraga dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas, tanpa melihat apapun atribut sosial dari pelaku olahraga.

Komentar