Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Mencoba Memahami Mukiyo

Ilustrasi para Mukiyo modern.
Mukiyo. Nama itu sudah aku dengar sejak aku belum memasuki usia sekolah. Orang-orang tua sering menggunakan nama Mukiyo sebagai jurus ampuh menaklukkan kenakalan anak. Nama Mukiyo yang lazim digandengkan dengan gombalnya, menjadi metode praktis untuk menakut-nakuti anak kecil, jika tak menuruti perkataan orang tua.

Mukiyo digambarkan sesosok gelandangan yang kemana-mana membawa gombal. Banyak versi terkait isi gombal yang berfungsi sebagai bungkusan untuk mengemas barang-barang milik Mukiyo ketika menyusuri jalanan.

Orang-orang mendeskripsikan Mukiyo sebagai orang gila, yang tak jelas hidupnya, tak jelas keberadaannya, dan bisa muncul kapan saja, di mana saja. Dengan penggambaran seperti itu, tentu Mukiyo menjadi makhluk yang sangat menyeramkan untuk anak-anak, sehingga cukup relevan dipakai bahan penghalau paling mutakhir menghentikan kenakalan anak kecil.

Biasanya, jika seorang anak ingin bermain keluar rumah pada malam hari ketika jam belajar atau jam mengaji, orang tua menghalau dengan ucapan, "Hati-hati, kalau keluar nanti bisa diculik Mukiyo!"

Sepengetahuanku, nama Mukiyo begitu tenar di berbagai daerah seperi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sampai sekarang, tak jelas asal-usul kisah Mukiyo bermula, hingga dikenal di berbagai daerah dengan versinya masing-masing. Yang pasti, Mukiyo selalu melekat (atau dilekatkan) dengan gombal miliknya.

Soal kebenaran keberadaan (atau ketidak-beradaan) Mukiyo pun belum ada orang yang meneliti secara serius. Tidak ada hasil final yang menyatakan bahwa Mukiyo merupakan tokoh fiktif atau bukan.

Ketika aku mulai memasuki usia sekolah dasar hingga menengah, konotasi Mukiyo lebih dikenal sebagai objek pendakwaan atas ulah negatif seseorang, terutama terkait hal-hal yang berbau bualan, omong kosong, dan sejenisnya. Mukiyo dianggap sebagai padanan paling ideal, sebagai perumpamaan paling pas, bagi hal-hal yang berbau ketidakjujuran.

"Saya berjanji ketika terpilih, anda semua akan sejahtera. Kapasitas dan kapabilitas saya sudah teruji sebagai wakil rakyat. Saya sudah 15 tahun menduduki kursi ini mewakili aspirasi anda, jadi tidak ada pilihan untuk tidak memilih saya," ungkap seorang caleg pada suatu kampanye. Ucapan yang semacam itu biasanya langsung disergap dengan celoteh,"halah, wong iku koyok gombale Mukiyo. Wis 15 tahun dadi wakil rakyat tapi uripe rakyat sik ngene-ngene ae. Ancene gombal Mukiyo wong iku."

Atau misalnya seperti kalimat yang acap kali terucap dari mulut seorang teman, sebut saja Latif Hendra, kepada calon korbannya. "Aku tak mampu berjanji untuk selalu pulang tepat waktu. Tapi sayang, percayalah, aku pastikan selalu pulang dalam keadaan mencintaimu," begitu salah satu kalimat andalannya untuk menggaet wanita yang ia incar, meski tak kunjung menemui hasil seperti yang dia inginkan. Kalimat itu bisa juga termasuk kategori gombale Mukiyo.

Latif bisa jadi representasi terkini soal sosok Mukiyo. Lho, kok fokusnya jadi Latif. Maaf pemirsah. Kembali ke Mukiyo. Mari kita renungkan. Siapa sebenarnya Mukiyo? Mengapa ia hadir menjadi idiom-idiom dengan segmen tertentu di berbagai lapisan masyarakat? Sebenarnya cita-cita Mukiyo apa?

Menurutku, pemerintah perlu membentuk suatu dewan riset khusus untuk meneliti Mukiyo. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga perlu mencantumkan kurikulum pendidikan anak usia dini dengan melibatkan idiom Mukiyo. Terbukti, jasa-jasa Mukiyo sebagai sosok yang terhakimi, sosok terkutuk, dan semacamnya, mampu menjadi metode pendidikan, atau setidaknya menjadi contoh buruk agar tak ada generasi penerus bangsa yang meniru tingkah polah Mukiyo, yang konon hobi berkelana ke pelosok desa hingga sudut-sudut megah perkotaan, hanya untuk berkelakar tentang isi bungkusan dalam gombalnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) kiranya perlu mengeluarkan fatwa, halalkah metode Mukiyo digunakan. Seberapa manfaat dan mudharat kehadiran sosok Mukiyo dalam belantika jasmani-rohani masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Aku yakin, di luar dataran yang bersuku Jawa, ada Mukiyo-Mukiyo lain yang berperan sama. Menurutku keadilan sosial untuk Mukiyo perlu ditegakkan. Presiden harus mengeluarkan Kepres untuk mengakomodasi keinginan-keinginan terpendam Mukiyo-Mukiyo, atau orang-orang yang mengeksploitasi Mukiyo selama ini. Rasanya, perbincangan, pembahasan, wacana dan isu-isu terkini soal Mukiyo harus terus didengungkan, demi kemaslahatan umat dan Mukiyo itu sendiri.

Komentar