Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Tentang Rivalitas Bonek - Aremania di Penghujung Februari


Februari memasuki penghujung. Dengan demikian, akan berakhir pula bulan yang banyak disebut orang sebagai bulan kasih sayang itu. Ini bukan tentang tanggal tua yang identik dengan nuansa memprihatinkan pada isi kantong dan dompet, maka saya tidak perlu mengadu kepada Bapak Presiden dan Bapak Kapolri tentang nasib kebanyakan pemuda se-usia saya di akhir bulan seperti ini.

Akhir Februari, juga bukan sekadar tentang berakhirnya perdebatan halal-haramnya merayakan valentine, melainkan mengenai kemungkinan terbaik merampungkan puncak bulan penuh cinta itu sendiri. Saya perlu mengingatkan tentang kasih sayang, karena tulisan ini memang bermaksud membaca makna frasa itu dalam kacamata Bonek dan Aremania.



Ya, siapa yang tidak mengenal mereka? Dua kelompok pendukung klub sepak bola, Persebaya dan Arema. Terlepas dari keberadaan dua tim yang memakai nama Arema – yakni  Arema Indonesia dan Arema FC – Arema tetaplah Arema, yang berjuluk Singo Edan dan memiliki puluhan ribu pendukung fanatik. Begitu juga dengan Persebaya. Puluhan ribu orang bangga menyebut dirinya sebagai Bonek, sebagai pendukung setia Persebaya.

Dua tim itu dijadwalkan sama-sama bertanding di akhir Februari ini, meski pada turnamen yang berbeda. Arema FC, tengah berjuang lolos dari babak perempat final Piala Presiden 2017, menghadapi Sriwijaya FC di Stadion Manahan, Solo, pada Minggu (26/2) malam. Di hari yang sama, diagendakan pengundian jadwal pertandingan Dirgantara Cup, yang kick off sehari kemudian, yakni Senin (27/2), di Stadion Maguwoharjo, Sleman. Meski jadwal resmi belum dirilis, namun panitia telah memastikan Persebaya sebagai tim yang bermain dalam laga pembuka.

Praktis, dua tim itu berlaga dengan selisih hanya satu hari. Lalu, apa hubungan dua pertandingan di dua turnamen berbeda itu sehingga saya perlu resah dan menulis catatan ini? Dari aspek teknis pertandingan di atas lapangan hijau, menghubungkan dua partai itu sama dengan menghubungkan nasib seseorang yang ditinggal nikah sang kekasih, tidak akan ketemu benang merahnya, karena memang sudah berpisah.

Maka, mari kita perhatikan aspek di luar lapangan, terutama dalam hal suporternya. Selama ini, hampir semua pecinta sepak bola, bahkan orang awam pun tahu, bahwa hubungan Bonek dan Aremania tidak harmonis. Dengan kondisi itu, akhir Februari bakal berpotensi menjadi puncak kasih sayang di antara mereka, entah dengan cara apa kasih sayang itu ditunjukkan.

Secara geografis, letak Solo dan Sleman tidaklah terlalu jauh. Di sisi lain, Surabaya dan Malang berada pada jalur sama untuk menuju ke lokasi pertandingan. Ini baru berbicara Surabaya dan Malang, sedangkan Bonek dan Aremania tidak hanya berasal dari dua daerah itu. Kedua kelompok suporter ini ada yang berdomisili di berbagai daerah di luar Surabaya dan Malang.

Baik Bonek maupun Aremania, juga memiliki karakteristik serupa, yakni sama-sama tidak memiliki wadah organisasi tunggal, sehingga mengkoordinir mereka dalam satu komando ketika mendukung tim kebanggaannya di luar kandang menjadi suatu hal yang utopis. Setiap kesebelasan tercinta menjalani laga tandang, mereka berbondong-bondong dari berbagai penjuru secara berangsur-angsur, meski ada pula sebagian yang berangkat dalam satu rombongan terpusat.

Mereka yang berjalan di luar rombongan terpusat ini, tidak bisa diprediksi kapan, menggunakan apa, dan melalui jalur mana menuju lokasi pertandingan. Dalam budaya away-suporter, banyak di antara Bonek dan Aremania yang berangkat lebih awal, jauh-jauh hari sebelum hari-H pertandingan. Dalam hal ini, Bonek memiliki tradisi estafet, yakni menumpang dari satu truk ke truk lain hingga sampai tujuan.

Bagi Bonek, menuju Sleman berarti harus melintasi Solo, yang berarti juga mau tidak mau membuka peluang lebar-lebar bertemu Aremania. Pun demikian di perjalanan, tidak menutup kemungkinan kedua kelompok ini bertemu. Saya hanya ingin mengingatkan, pada akhir 2015 pernah terjadi pertumpahan darah di Sragen, Jawa Tengah, ketika Bonek dan Aremania berjumpa di perjalanan. Saat itu, dua orang Aremania tewas. Sekitar 500 Bonek sempat diamankan di Polres Sragen, sebelum akhirnya sebagian besar dipulangkan karena tidak terbukti terlibat. Dalam kejadian itu, 31 Bonek dijadikan tersangka dan harus mejalani hukuman.

Saya tidak ingin mengadili siapa yang salah di antara mereka. Bagi saya, bagaimanapun, rivalitas dalam sepak bola amat diperlukan. Hanya saja, yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengendalikan rivalitas itu. Bonek dan Aremania seperti air, ia mengalir mengikuti arus yang mengendalikan mereka, yakni Persebaya dan Arema. Di mana pun kesebelasan mereka bertanding, mereka senantiasa hadir, kapanpun dan dengan cara apa pun.

Dalam konteks Piala Presiden dan Dirgantara Cup kali ini, saya hanya heran pada penentuan jadwal dan lokasi pertandingan. Apalagi, Dirgantara Cup ini turnamen yang terselenggara atas kolaborasi TNI-Polri (sebelumnya sempat direncanakan ber-title Kapolda DIY Cup). Saya berharap intelejen tidak luput memperhitungkan berbagai kemungkinan di luar pertandingan.

Sebagai warga negara yang baik, tentu saja saya tidak ingin Presiden Jokowi menyesal menggelar turnamen yang berlangsung dengan kerusuhan, meski di luar lapangan. Apalagi, Jokowi sudah menyempatkan waktunya membuka langsung Piala Presiden beberapa waktu lalu, ditandai dengan tendangan pertama dari kakinya. Jika terjadi insiden yang melibatkan Bonek dan Aremania, sekecil apapun, saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana nasib netizen yang selama ini sudah kadung berisik memperbincangkan Ahok, Habib Rizieq, bahkan Freeport dan imperialisme 9 Naga China.

Walhasil, di negeri ini peristiwa di luar lapangan sepak bola selalu lebih menarik diperbincangkan ketimbang sepak bola itu sendiri. Dan kerusuhan suporter – sejak era Cicak vs Buaya, Century, Hambalang, hingga Papa Minta Saham – tetap menjadi pilihan bijaksana dalam mengusir kepenatan memperhatikan beragam dinamika isu nasional, tak terkecuali di bulan kasih sayang yang memasuki usia senja ini.

Muhammad Choirul Anwar
25 Februari 2017

Komentar