Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Sajak-sajak Patah Hati





Sajak untuk Lelaki yang Patah Hati

kutulis sajak ini saat malam masih begitu belia
di antara kepul tipis asap kretek yang bersahaja
ditemani aroma kopi dingin menggoda
kemudian semua bersabda

lelaki yang patah hati tidak layak mati bunuh diri
nyawamu bukan harga bagi hati yang tersakiti
perempuanmu tak pantas memeluk jasadmu yang suci
tiap tetes tangismu adalah embun pagi, menyejukkan bumi

lelaki yang patah hati tidak layak mati bunuh diri
entah menggantung lehernya sendiri
atau menyerahkan nadi pada sayatan belati
tiap embus napasmu adalah doa keagungan semesta
maka katakan pada dirimu sendiri
lelaki yang patah hati tidak layak mati bunuh diri

Sajak untuk Perempuan di Bahu Seberang

sisa seperempat piring nasi dan setengah gelas jeruk manis
yang kita pesan dari hening trotoar jalanan
akhirnya menuntaskan catatan di atas alas kaki tak berwarna

tinta emas yang tersusun kokoh di awal paragraf memudar
menyapu jejak deras aksara perlambang cinta
yang pernah kita cumbui bersama malam

bercak gincu dari ranum bibirmu
yang menempel pada lengan kemeja abu-abu itu
membuat pagi tampak begitu malas bekerja

ia nelangsa mengamati kenyataan penuh dahaga
dan kau tiada menyediakan telaga penawarnya
meskipun sudah lunas hutang tulusku pada luas cakrawala kejujuran
telah kupasrahkan pula segunung rasaku pada sejenak diam
akhirnya hanya mampu kurebahkan seluruh rindu pada karam mimpiku

Duka Senja di Losmen Biru

sore begitu menua saat membaca lekuk tubuhnya
dari balik pagar kayu losmen yang biru
diam-diam saja, sebab senja makin renta
menyembunyikan malu dari samping lingkaran putingmu
yang bergambar merah merona tanda cinta

lelaki sunyi dipeluknya barangkali sudah gila
orang-orang tak tega menatap air muka nestapa
dibiarkanlah waktu memakan dirinya hingga lekas ke neraka
sepasang kancut berbentuk segitiga terbang ke angan-angannya
menghantui malam ganjil bersama embus angin tembaga

lalu lelaki itu setengah berkata; "jemputlah karma!"
ketika bulan berbentuk celurit makin tinggi dimakan usia malam
bintang-gemintang memenangi siasat awan
tak terlihat lagi gigil tersandang
ia menepi, menyimpan sederhana dukanya sendiri

Tahi Lalat di Simpul Pantat

tahi lalat di simpul pantatmu tak habis-habisnya merayu
membuka lipatan ingatan tentang kenang yang dulu tersimpan lugu
maka isi kepala penuh oleh dilema, pada sore yang tua itu

ketika kita menetapkan sepotong cita-cita
selepas darah yang remaja, mendidih sempurna
saat inginmu masih berarti inginku, dan kita
melukiskan rencana pada tumpukan batu kali
mengukur garis dan arsiran berwarna dengan teliti
menjaga tiap bentuk mengalunkan simponi

bagai padang ilalang yang lapang
pagi yang abadi seolah ringan menjelang
namun takdir luput diperhitungkan
bercak merah yang terlanjur menghiasi sampul buku itu
tak mungkin terhapus meski kita menanak masa lalu
tiap sela huruf yang tertata rapi telah pergi
sisanya hanya sepi tanpa henti

makan malam terakhir kita tak pernah tuntas
tali yang menyejajarkan posisi kutangmu lepas
dan tahi lalat di simpul pantatmu masih saja bernapas

Kangen


Dhik, sekarang kabarmu tiada lagi singgah
Tidak seperti ketika itu
Saat kamu membuatku terbang.
Maka hanya hampa yang bertubi-tubi
Tinggal pada kedalaman jiwaku.

Hari-hari adalah kosong dan berbeda
Sebab aku terlempar, tersungkur, jatuh dan terkapar
Dari suatu ketinggian yang kau tentukan puncaknya

Sedangkan saat kamu membuatku terbang
Aku menjalani hidup dengan penuh pelajaran
Tentang penghayatan kita pada semesta
Aku dan kamu menuliskannya dalam tiap doa seluas cakrawala
Menjadikannya serupa puisi paling jujur dan utuh
Ketika itu, saat kamu membuatku terbang

Sebelum sayap-sayap kita patah dan lepas
Membuatku terperosok ke dasar ngeri, sendiri

Bukan Pesta Perpisahan

Kedatanganku bukan untuk mengantarmu, sebab perpisahan tidak perlu dirayakan, dengan kecil-kecilan atau berlebihan.
Di tempat itu, aku hanya menjemput waktu, membiarkan siang merampungkan kelelakian.
Lalu menyelaminya menuju ujung sore sebelum tersadar pada batas lenyapmu.

Seperti biasa, kekagumanku pada mata kepalaku sendiri kian menjadi.
....
Lenyapmu membuatku melihatmu tanpa harus bertemu.
....
Bahkan aku menatap nanar matamu di tiap huruf puisi yang kutulis tanpa namamu.

Sajak Hikmah Patah Hati

Patah hati karenamu adalah pencapaian terbesarku. Aku meyakininya bahwa kau tidak memahami, betapa patah hati menyimpan potensi pengalaman. Kini sering kali aku menjadi pembunuh paling kejam. Membunuh tiap kamu, tiap malam, dan berkali-kali, dalam tiap mimpi.

Lalu aku terbangun dan masih sebagai seorang pembunuh. Aku menemukan, ternyata kamu tidak cukup berkali-kali bangkit dalam mimpi. Dalam hal ini, aku menyesalkan kesadaranku yang tidak pernah lepas dari hadirmu. Ia senantiasa disertai ingatan akan kamu. Dengan begitu aku harus terus membunuh ingatan dan segala kenang.

Rupanya aku juga meyakini, suatu saat nanti, membuatku patah hati adalah penyesalan terbesarmu. Sebab patah hati mengandung beribu pelajaran. Aku mengalaminya, sedang kau tidak. Maka percayalah, aku tidak terlalu bodoh sehingga bersedia mengajarkanmu tentang apa yang telah aku pelajari, karena aku tak yakin kau sanggup menjalani patah hati.

Komentar