Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Melirik ‘Wisata Prostitusi’ Kota Surabaya

Semak-Semak, Stasiun dan Warung Pun Beralih Fungsi

Larut malam di Surabaya, saat kebanyakan orang tengah tertidur pulas, terdapat tempat-tempat yang tiap malamnya tetap beraktivitas layaknya siang hari. Di beberapa tempat tersebut, beberapa wanita bertubuh seksi dengan pakaian minim menunggu pria-pria yang sedang mencari pasangan untuk memenuhi kebutuhannya akan seks. Di beberapa lokasi lainnya, ada wanita-pria (waria) yang juga menawarkan jasa untuk melayani ‘tamu’nya.

Ya, tempat-tempat itu merupakan tempat prostitusi yang banyak tersebar di kota berjuluk Kota Pahlawan. Di antara tempat-tempat tersebut ada yang legal karena berada dalam suatu kawasan yang telah mendapat izin mendirikan bangunan yang digunakan sebagai tempat prostitusi. Lainnya? Ilegal tentu saja. Terletak  di pinggir sungai, rel kereta api dan di kawasan pemakaman.

Sebagai arek Suroboyo, saya tentu tahu sedikit-banyak tentang keberadaan lokalisasi-lokalisasi tersebut. Beberapa tempat lokalisasi yang ada di Ibukota Provinsi Jawa Timur itu seperti Dolly, Jarak, Bunderan Waru, Stasiun Kereta Api (KA) Wonokromo, Makam Kristen Kembang Kuning, Moroseneng, Stasiun KA Kandangan-Banjar Sugihan, Stasiun KA Tandes, Kremil, Bangunsari, Irian Barat, dan mungkin masih banyak lagi lokalisasi yang belum saya ketahui.


Malam itu, saya bersama beberapa wartawan Perspektif memutuskan untuk jalan-jalan menelusuri beberapa lokalisasi. Selain untuk mengamati fenomena sosial di kawasan tersebut, jalan-jalan ini juga sekaligus untuk memuaskan rasa penasaran dari beberapa wartawan Perspektif yang berasal dari luar Surabaya. Intinya, kami ingin tahu dan ingin menjamah secara langsung lokalisasi yang ada di Surabaya.

Kami awali perjalanan dengan mengunjungi Bunderan Waru. Di tempat ini, banyak waria yang menawarkan jasa di pinggir jalan dan di dalam semak-semak Bunderan Waru. Di antara semak-semak dan pepohonan, ada satu tenda kecil yang digunakan para waria untuk melayani tamunya secara bergantian. Sesekali terlihat pria yang sedang melakukan tawar-menawar dengan waria di pinggir jalan.

Meski terlihat seperti wanita karena memiliki buah dada, kebanyakan waria di sini masih belum sanggup menutupi ciri-ciri fisiknya sebagai seorang pria. Terlihat jelas otot lengan dan kakinya yang besar, juga raut wajah yang masih menunjukkan sisi maskulinitas.

Saya sempat berbicara dengan salah seorang waria. Kami duduk di trotoar jalan, sekadar basa-basi dan berbagi rokok. Awalnya ia mengira saya hendak menyewa dan menggunakan jasanya. Namun setelah saya mengatakan ingin sedikit melakukan wawancara, waria yang memiliki tato di lengan kanannya itu menolak, lalu pergi.

Perjalanan kami lanjutkan ke Stasiun KA Wonokromo. Situasi malam hari di sepanjang rel sangat berbeda dengan siang hari. Jika pada pagi hingga sore hari kawasan ini ramai oleh para penumpang dan petugas stasiun KA, malam harinya kawasan ini diramaikan oleh Pekerja Seks Komersial (PSK). Kebanyakan PSK di stasiun ini sudah tidak muda lagi. Itu terlihat dari raut wajah serta lekuk tubuh mereka yang tak lagi molek. Mereka ditemani para pria hidung belang, serta segerombolan orang yang sedang bermain judi.

Di tempat ini terdapat beberapa tenda dan warung dengan pencahayaan yang minim dari lilin kecil. Tenda-tenda yang terbuka di bagian depan dan belakangnya ini rupanya menjadi tempat para PSK melakukan pijat ‘plus-plus’. Ada juga beberapa tenda tertutup yang digunakan para PSK untuk berhubungan seks dengan tamunya secara bergantian. Sekali masuk tenda, para PSK dikenai biaya Rp 5 ribu oleh pemilik tenda.

Suasana di sini sangat kaku. Tak ada canda dan tawa sama sekali. Banyak orang mabuk dengan paras yang menyeramkan. Di tengah rasa ketakutan, kami memberanikan diri untuk terus berjalan hingga berhenti di sebuah warung. Pemilik warung tersebut adalah seorang pria (sebut saja namanya Paijo). Sepertinya ia orang baik-baik. Warung tersebut  hanya menyediakan makanan dan minuman, tidak menyediakan PSK seperti mayoritas warung lain di lokasi tersebut.

Kami sempat ngobrol dengan pemilik warung ini. Menurutnya, tarif PSK di sini berkisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu untuk sekali crot (istilah untuk berhubungan seks bebas dengan PSK di wilayah ini). Kebanyakan PSK di Stasiun KA Wonokromo merupakan pendatang dari luar Kota Surabaya. “Ada yang nge-kos di sekitar sini, ada juga yang tiap hari pulang-pergi dari kota asalnya. Ada dua orang (PSK,Red) dari Jombang yang kalau sore naik kereta ke sini, paginya balik lagi ke Jombang naik kereta yang shubuh,” papar Paijo. Pria ini juga mengungkapkan, bahwa setiap hari ada oknum polisi berpakaian preman yang meminta pungutan di lokalisasi liar tersebut.

Waria Cantik Jadi Daya Tarik


Lokalisasi selanjutnya yang kami datangi adalah Dolly. Di lokalisasi yang kabarnya merupakan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini, ada banyak sekali PSK yang masih muda dan cantik. Para kupu-kupu malam itu duduk berjajar di atas sofa di dalam sebuah wisma yang bisa dilihat melalui jendela kaca yang besar. Layaknya sebuah pameran perhiasan yang dipamerkan di dalam etalase, pengunjung bisa melihat pameran tersebut dari luar. Jika berminat, pengunjung bisa membeli perhiasan tersebut dengan harga tertentu.

Di luar wisma, beberapa calo terlihat sedang menawarkan jasa PSK kepada setiap orang yang melintas di depannya. Di kawasan Dolly ini terdapat banyak sekali wisma. Tiap wisma memasang tarif berbeda untuk masing-masing PSK-nya. Jalan raya di kawasan Dolly selalu macet setiap malam karena memang banyak sekali pengunjung yang datang tiap malamnya. Motivasinya pun bermacam-macam, mulai dari yang hanya melihat-lihat untuk sekadar ingin tahu, hingga mereka yang ingin merasakan pelayanan para PSK Dolly yang terkenal itu.

Kami sampai di Dolly sekitar pukul 02.00 WIB. Ketika kami datang, suasana masih sangat ramai. Padaha,l menurut peraturan pemerintah setempat, pukul 01.00 WIB semua wisma sudah harus tutup. Setelah memarkir kendaraan, kami langsung bergegas mengamati ‘pemandangan’. Kami tidak berjalan bergerombol, melainkan bergerak secara berpasangan. Dua pasangan laki-laki dan perempuan berjalan terlebih dahulu, namun tetap menjaga jarak agar tidak mencurigakan. Sementara saya yang tidak mendapat pasangan berjalan sendirian di belakang.

Langkah saya tertinggal jauh dari temen-teman wartawan Perspektif lainnya karena saya sempat beberapa kali ditarik dan ditawari oleh calo-calo di setiap wisma. “Yang ini sembilan puluh ribu mas, pelayanan dijamin memuaskan,” kata salah satu calo. “Di sini aja mas, seratus dua puluh ribu satu jam setengah. Dua kali crot, bisa ngemut juga,” ujar calo yang lain.

Saya berusaha menolak tawaran-tawaran tersebut dengan halus dan terus berjalan sambil mengamati PSK di setiap wisma yang berada di kanan-kiri saya. Saya pun berhasil mengejar kawan-kawan yang lain. Dalam perjalanan tersebut kami juga melihat mobil polisi yang berhenti di depan salah satu wisma. Seorang polisi berseragam lengkap turun, lalu seseorang menghampirinya dan memberi sejumlah uang. Entah untuk apa uang tersebut diberikan kepada polisi itu. Kami pun enggan bertanya karena masih ada satu lokalisasi lain yang dituju, sebelum waktu berkunjung kami di kota ini habis karena harus segera kembali ke Malang.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Makam Kristen Kembang Kuning. Tempat ini tidak jauh dari lokalisasi Dolly. Di tempat dengan cahaya penerangan yang minim ini, tampak beberapa waria dan wanita PSK yang menawarkan jasanya di pinggir jalan dan di sekitar makam. Namun berbeda dengan kebanyakan waria yang ada di Bunderan Waru, mayoritas waria di Kembang Kuning ini terlihat lebih cantik dan terawat. Waria-waria ini nyaris tampak seperti seorang wanita sungguhan. Kecantikan itu rupanya membuat mereka mampu memikat lebih banyak pelanggan dalam satu malam. Hal ini terbukti dari ramainya pengunjung di sini dibanding Bunderan Waru.

Di Surabaya sendiri sebenarnya ada Perda No. 7 Tahun 1999 tentang larangan menggunakanbangunan/tempat untuk perbuatan asusila, serta pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila di Kota Madya Daerah Tingkat II Surabaya. Namun peraturan ini hingga sekarang belum dijalankan. Selain itu juga sudah beberapa kali ada wacana dari Walikota Surabaya ataupun Gubernur Jawa Timur untuk menutup lokalisasi Dolly. Namun nampaknya sampai saat ini hanya menjadi wacana belaka. Menutup lokalisasi Dolly memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Ribuan orang menggantungkan hidupnya di lokalisasi. Tidak hanya PSK, mucikari, ataupun calo. Tukang becak dan sopir taksi juga banyak yang mencari nafkah di lokalisasi. Tak sedikit pula warga yang membuka usaha lahan parkir, toilet umum dan membuka toko. Jika lokalisasi ini ditutup, tentu akan berimbas pada penghasilan orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari lokalisasi. Tidak mengherankan jika praktik prostitusi di beberapa tempat di Surabaya menjadi praktik yang dilarang, namun tetap “dilindungi” oleh banyak pihak, termasuk pemerintah dan kepolisian.



Komentar