Pilpres Juga Tergantung Kemauan-Nya
Untuk mengawali tulisan ini, aku ingin sedikit
berkeluh kesah. Sebenarnya aku malas menulis tulisan yang membahas Pilpres
2014. Bagiku, pilihan untuk memilih salah satu calon, atau memilih keduanya,
atau bahkan memilih untuk tidak memilih, adalah urusan masing-masing orang
sebagai pribadi, sebagai warga negara yang bernama Republik Indonesia.
Namun, nuansa kampanye yang cenderung tidak sehat,
membuatku tak tahan. Tanganku tergelitik untuk menulis tentang Pilpres 2014
ini.
Menyoal kampanye, begitu banyak tudingan ini itu yang
ditujukan kepada para kandidat yang bertarung memperebutkan kursi RI 1.
Tudingan tersebut tersiar begitu gencar. Mewarnai hari-hariku melalui berbagai media,
mulai media massa dalam bentuk cetak, online, elektronik, maupun media/jejaring
sosial.
Ironisnya, tak sedikit orang-orang yang kukenal dekat,
terlibat untuk saling menjatuhkan, mencoreng nama calon yang tak didukungnya
dan menggebu-gebu mendukung calon idamannya. Ocehan-ocehan yang kudengar,
kubaca, serta kulihat membuat otakku merasakan racun kebebalan yang dilancarkan
bertubi-tubi.
"Jangan pilih Prabowo. Dia pelanggar HAM. Jika
dia memimpin Indonesia, nanti kepalamu akan diinjak oleh sepatu tentara ketika
hendak melancarkan kritik," ujar salah seorang tim sukses Jokowi, dalam
sebuah kampanye di Kota Malang.
Aku heran. Betapa mereka lupa bahwa pada momen-momen
sebelumnya, pihak Prabowo dan Jokowi sama-sama pernah saling bergandeng tangan.
Bukankah kita tahu bahwa dalam Pilpres 2009, Prabowo berpasangan dengan
Megawati sebagai cawapres?
Rasanya tak perlu mengingat jauh ke belakang.
Baru-baru ini saja, pihak Prabowo dengan kendaraan Partai Gerindra, sama-sama
mengusung Jokowi saat bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta lalu. Saat itu, nama
Prabowo juga digunakan untuk mengeruk suara pasangan cagub-cawagub Jokowi-Ahok.
Lalu mengapa?kini setelah Prabowo dan Jokowi tak
sejalan, kedua kubu seakan tak pernah saling memuji. Entah pihak mana yang
memulai. Kampanye hitam ini dilancarkan atas intruksi kedua pasangan
capres-cawapres, atau hanya ulah segelintir oknum atas kepentingan tertentu
yang ingin mengadu-domba kedua belah pihak, entahlah.
Tidak
sadarkah mereka bahwa semakin mereka saling menjatuhkan, semakin rakyat
ditunjukkan sikap pragmatis dan opurtunis para tim sukses (atau yang
memerintahkan).
Berbagai sumber dikutip
untuk melegitimasi fatwa-fatwa mereka. Sumber itu, ada yang dari media massa, ada pula yang berasal dari
tokoh-tokoh nasional. Dengan bangga kutipan-kutipan pendukung mereka comot dan
bagikan. Seakan yang dikutip merupakan wahyu langsung dari Tuhan.
Yang jelas, menurutku kampanye hitam semacam ini
menunjukkan belum siapnya para penggiat politik untuk bertindak demi
kepentingan bersama. Bukankah siapapun yang menang, nantinya sang presiden
harus melakukan hal terbaik untuk seluruh rakyat Indonesia? Ya, seluruh rakyat
Indonesia! Bukan sebatas untuk kader atau simpatisan partai pengusung saat
kampanye!!
Ketimbang berkampanye hitam, bukankan lebih baik
menunjukkan sisi positif dari para kandidat? Jika keduanya saling menjelekkan,
bagaimana rakyat bisa tahu apa baiknya para kandidat sehingga ada keinginan
untuk memilih?
Ah, sudahlah. Yang perlu diingat, kemenangan dalam
Pilpres 2014 bukanlah tujuan. Ia hanyalah alat, cara, atau sarana untuk
mencapai tujuan, yakni membangun Indonesia lima tahun kedepan. Dan yang
terpenting, jangan lupakan peran Tuhan. Bagaimanapun ngeyelnya, sebesar apapun
ambisi dan usaha para kandidat (atau pengusung) untuk memenangkan Pilpres 2014,
tak akan ada hasilnya jika Tuhan tidak merestui.
Lalu, apa Tuhan sengan dengan cara-cara kampanye yang
begitu menjijikkan akhir-akhir ini? Memang, usaha berbuat baik dengan
menentukan pilihan itu perlu. Namun, pilihan kita belum tentu yang terbaik atau
yang paling benar. Yang harus kita lakukan, ialah mempelajari, mengamati dan
menentukan pilihan pasangan mana yang kita pilih (atau memilih untuk tidak
memilih), dengan berbagai pengetahuan dan rasionalitas atas hasil pelajaran
selama ini.
Jika sudah menemukan pilihan, boleh saja kita
menyarankan, atau menyosialisasikan pilihan kita kepada orang lain. Namun,
kita sama sekali tidak berhak memaksa, atau melarang orang lain kalau
ingin berbeda dengan apa yang kita pilih.Manusia punya hak untuk
menentukan pilihan. Orang lain, seperti halnya kita sendiri, memiliki
kecerdasan, punya akal dan hati yang dianugerahkan oleh Tuhan. Setelah itu,
sudah selayaknya kita menyerahkan, memasrahkan apapun hasilnya nanti kepada
Tuhan.
Dengan kompleksitas permasalahan bangsa Indonesia saat ini, mustahil manusia mampu mengatasi sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Maka, jangan sampai kita, sebagai manusia, merasa terlalu sok dan seakan-akan sudah paling mampu untuk memperbaiki Indonesia. Bisa-bisa Tuhan enggan ikut campur, kalau sudah begitu, manusia bisa apa?
Baiklah, masih ada waktu beberapa hari untuk menentukan pilihan (atau memilih untuk tidak memilih). Sudah selayaknya pekan tenang ini dimanfaatkan sebaik mungkin, sesuai dengan namanya agar mampu membuat hati dan pikiran tenang. Dengan tenangnya hati dan pikiran, niscaya Tuhan akan menuntun kita untuk menentukan pilihan sebaik-baiknya pilihan.
Komentar