Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Sastra dan Perjalanan Spriritual Penulis


Berbicara sastra tak bisa lepas dari sosok penghasil karya sastra itu sendiri sebagai penulis atau yang lazim disebut sastrawan. Pun demikian dengan segala proses kreatif yang tak begitu saja dilakukan secara instan. Butuh proses panjang berupa perenungan, mempertanyakan keresahan-kerasahan atas kondisi zaman dimana sastrawan itu hidup, hingga pemikiran dari perjalanan spiritual, serta berbagai hal lain sebelum semua itu tertuang dalam sebuah karya.

Dalam sejumlah catatan panjang sejarah sastra lokal era jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, praktik-praktik perjalanan spiritual seseorang banyak menghasilkan sastrawan besar, atau yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan pujangga. Bahkan, tak jarang para pujangga ini dianggap sebagai orang-orang sakti yang tahu berbagai hal dan memiliki kemampuan khusus sehingga kerap kali menjadi rujukan masyarakat sekitarnya.
Sebut saja Raden Sahid atau yang lebih familiar dengan nama Sunan Kalijaga, orang yang telah melakukan perjalanan spiritual panjang sebelum menghasilkan karya-karya besar hingga mempengaruhi masyarakat luas. Sunan Kalijaga, sebelum menjadi seorang pujangga dan pada akhirnya menjadi salah seorang anggota Wali Songo, merupakan anak muda yang dikenal dengan kenakalannya.
Masa muda Sunan Kalijaga diliputi dengan keseharian yang mencerminkan sifat-sifat tercela. Merampok, menjarah, bahkan membunuh adalah makanan sehari-harinya. Hal itu membuat Bupati Tuban saat itu, Tumenggung Wilatikta yang tak lain ialah ayah kandung Sunan Kalijaga menjadi geram.
Agus Sunyoto (2012: 216) menulis, dengan diusirnya Sunan Kalijaga, tak membuat anak muda ini menjadi lebih baik. Bahkan, kerusuhan demi kerusuhan terus dilakukan oleh Raden Sahid yang menyebabkan masyarakat ketakutan. Karena perbuatan-perbuatannya, Sunan Kalijaga dikenal dengan nama Berandal Lokajaya.
Sifat Sunan Kalijaga baru mengalami perubahan saat ia hendak merampok Sunan Bonang. Kesaktian Sunan Bonang membuat Sunan Kalijaga berguru padanya. Dari situlah ia mulai mempelajari berbagai ilmu, budaya, dan melakukan perjalanan spiritual yang panjang. Ia pun berubah menjadi pujangga yang banyak berdakwah menggunakan kesenian seperti wayang dan menciptakan banyak tembang. Karya-karya yang dihasilkan bukan sekadar kalimat-kalimat puitis yang menggugah kesejukan hati penikmatnya. Lebih dari itu, mengandung unsur kebenaran, kebaikan, dan keindahan serta apa yang ingin disampaikan.
Tembang lir ilir misalnya, berkisah tentang peringatan dan petunjuk dalam membangun Nusantara yang merupakan tanah surga dunia.
Cah angon-cah angon,
penekno blimbing kuwi,
lunyu-lunyu penekna,
kanggo mbasuh dodo ira.
Dalam petikan sebagian tembang di atas, budayawan dan tokoh intelektual Emha Ainun Nadjib menafsirkannya sebagai berikut:
 "Sunan tidak menuliskan: 'Ulama, Ulama', 'Pak Jendral, Pak Jendral', 'Intelektual, Intelektual' atau apapun lainnya, melainkan 'Bocah Angon, Bocah Angon...' Beliau juga tidak menuturkan: 'Penekno sawo kuwi', atau 'Penekno pelem kuwi' atau buah apapun lainnya, melainkan 'Penekno blimbing kuwi'.
Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima. Yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin ini, agar blimbing bisa kita capai bersama-sama.
Dan yang memanjat harus 'Cah Angon'. Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja -- namun dimilikinya daya angon. Kesanggupan untuk menggembalakan.
Karakter untuk merangkul dan mesra pada semua pihak, yang dapat menciptakan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan. Bocah Angon adalah seorang calon pemimpin negeri di Bumi Pertiwi." (dikutip dari sebuah forum Maiyah tahun 2013)
Hal ini menunjukkan karya-karya yang dihasilkan Sunan Kalijaga merupakan buah pemikiran yang telah melalui proses panjang. Proses inilah yang membuat seorang pujangga mampu menelurkan karya yang begitu estetik, namun tak menghilangkan unsur kebenaran dan kebaikan yang ingin disampaikan.
Proses serupa juga dilakukan oleh pujangga di era pemerintahan Raja Surakarta Pakubuwono IV, yakni Bagus Burhan atau Ranggawarsita. Setelah melalui perjalanan spiritual yang panjang, berekelana dan berguru di berbagai daerah di Jawa-Bali, ia kemudian menjelma menjadi seorang pujangga besar. Ranggawarsita terkenal dengan karyanya, Serat Kalatidha yang berisi ramalan tentang zaman edan yang akan datang di kemudian hari.
Amanangi Zaman Edan,
ewuh aya ing pambudi,
melu edan nora tahan,
yen tan melu anglakoni,
boya kaduman melik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada, (Petikan bait serat Kalatidha)
Dalam masa hidupnya, Ranggawarsita memanfaatkan kepujanggaannya untuk melawan kolonialisme Belanda saat itu. Melalui karya-karyanya, ia melampiaskan segala keresahan akan zaman yang sedang dan akan dihadapinya (Achmad, 2011). Tradisi perjalanan spiritual terus menciptakan pujangga atau sastrawan-sastrawan besar pada zaman hidupnya masing-masing. Nama-nama mereka terus dikenal.
Di era pasca kemerdekaan Indonesia, sastrawan semacam Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Tukul juga menghasilkan karya-karya yang tak instan. Setupuk hasil perenungan atas desakan rezim yang tak berpihak pada kemanusiaan menjadi 'coretan suci' yang tak lekang dimakan usia.
Sudah selayaknya para penulis masa kini belajar pada sastrawan pendahulunya. Tapa brata (laku prihatin) dalam kesunyian harus dijalankan jika penulis tersebut serius ingin menghasilkan karya yang bermanfaat bagi banyak orang. Sejumlah pengalaman para pujangga masa silam bisa menjadi bahan renungan tentang zaman yang dihadapi sekarang. Nurani dan mata batin seyogianya difungsikan untuk membaca kondisi yang serba tak jelas dan penuh kepalsuan di bawah sistem yang menerapkan pembodohan secara sistemik pada berbagai bidang.
Dalam kondisi seperti ini, sastra dibutuhkan sebagai penyeimbang dan solusi alternatif membangun bangsa yang tengah dilanda krisis estetika. Oleh karenanya, karya-karya yang lahir dari perjalanan spiritual mutlak diperlukan dewasa ini. Sejatinya, bukankah sastra adalah zat yang mampu merubah suatu yang kosong, yang berbeda, yang salah, yang tak tepat, menjadi sebuah harmoni yang indah?

Komentar