Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Konglomerasi Media dan Kebebasan Keblinger


Media massa atau pers menjadi sebuah institusi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang ditulis Vincent Mosco (2008) dalam jurnalnya, Current Trends in the Political Economy of Communication, kehadiran media acap kali dijadikan alat propaganda dalam perjuangan tertentu. Mosco mengambil sejumlah pendekatan dalam menganalisis aspek politik ekonomi komunikasi melalui berbagai jenis media.
Dicontohkan, radio menjadi alat utama sebuah gerakan di Amerika Serikat dari akhir 1920-an ke 1950-an untuk membangun alternatif bagi struktur kekuasaan tradisional yang dipimpin oleh bisnis besar. Lebih lanjut, Mosco mengutip Nathan Godfried (1997) dalam penelitian sejarah stasiun radio Chicago yang didirikan dan dijalankan oleh federasi buruh yang mewakili serikat pekerja di kota itu. Godfriend berpendapat, memberikan suara untuk tenaga kerja di lautan penyiaran komersial bukanlah tugas yang mudah, terutama karena banyak dari serikat pekerja, yang anggotanya juga penggemar besar dari stasiun komersial, berjuang untuk menentukan alternatif tenaga kerja.
Sementara pada media cetak, Mosco merujuk Tracy (2006). Dipaparkan tentang peran penting dari pekerja tipografis PBB dalam pertempuran untuk mengontrol proses kerja dan pengenalan teknologi baru dalam industri percetakan. Hal demikian makin memuncak dalam serangan 1964 yang mematikan bisnis surat kabar di New York City selama empat bulan. Dalam wawancara dengan pemimpin aksi buruh, Tracy mendokumentasikan suara buruh sangat kuat di industri media dan menilai kekuatan serta kelemahan, seperti tergantung pada kerajinan ideologi sempit yang pada akhirnya memberikan kontribusi untuk mematikan suara itu.
Kajian mengenai media massa, utamanya yang mengarah pada konglomerasi media memang selalu menarik di era berkembangpesatnya industri media saat ini. Pertumbuhan industri media berbagai jenis berkembang sejurus dengan kebutuhan publik terhadap arus informasi yang mengalir cepat. Sayangnya, kebutuhan publik ini justru dimanfaatkan industri media untuk kepentingan tertentu. Pada kondisi ini, media massa telah menjadi komoditas barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan yang mencari keuntungan kepada konsumen. Contoh paling simpel adalah televisi berlangganan yang kini tengah berkembang diisi dengan pesan-pesan komersial yang begitu banyak. Ironisnya, di Indonesia kepemilikan terhadap industri media hanya dikuasai segelintir kelompok yang tak jarang berafiliasi dengan partai politik tertentu.
Mosco sendiri menyebut komodifikasi merupakan suatu proses yang menggambarkan bagaimana cara kapitalisme mendapatkan modal atau nilai yang real melalui transformasi nilai guna menjadi nilai tukar atau dapat dikatakan sebagai proses mentransformasikan produk yang nilainya ditentukan oleh kemampuan produk tersebut dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial, menjadi produk yang mempunyai nilai yang diatur untuk bisa dibawa kepada pasar (marketplace). Sedangkan komoditi (Marx) dianggap sebagai segala macam kebutuhan sosial, baik fisik maupun budaya, termasuk untuk memuaskan lapar secara fisik dan mempertemukan kode-kode dari kelompok sosial tertentu.
Padahal, beberapa waktu sebelum industri media berkembang pesat di Indonesia, dunia pers sempat mengalami berbagai masalah untuk bisa eksis. Hal itu disebabkan sikap rezim Orde Baru yang begitu ketat memberi pengawasan terhadap pers. Atmakusumah (2009) mencatat 11 surat kabar harian dan mingguan, serta 1 majalah mingguan dibredel tanpa batas waktu, sepanjang Januari-April 1974. Menurut Menteri Penerangan Mashuri yang saat itu menjabat, sebanyak 417 wartawan dan karyawan pers di Jakarta serta 85 orang di daerah lain kehilangan mata pencaharian akibat pembredelan tersebut. Tindakan pembredelan itu merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran di Jakarta yang disebut sebagai “Malapetaka 15 Januari” (disingkat Malari). Demonstrasi ini berlangsung pada 15 dan 16 Januari 1974 untuk menentang kunjungan Perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang dan mengkritik kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia (Atmakusumah, 2009: 25). Pada saat itu, sepanjang 1974-1975 tiga awak redaksi harian Indonesia Raya, masing-masing Enggak Bahau’ddin, Mochtar Lubis, dan Kustiniyati Mochtar bahkan harus menjalani proses hukum yang berbeda-beda tanpa ujung yang jelas. Setelah pembredelan di tahun 1974, belasan pembredelan juga terjadi sepanjang Orde Baru berkuasa, baik pembredelan dalam jangka waktu tertentu maupun tak terbatas.
Sejumlah contoh tersebut menunjukkan betapa pentingnya media massa berperan dalam pembangunan berbangsa dan bernegara, mengingat salah satu fungsi pers, yakni kontrol sosial, sehingga pemerintah merasa perlu ikut campur mengarahkan pemberitaan yang disajikan media massa. Sayangnya, pasca tumbangnya Orde Baru, di mana pers bisa bergerak bebas menjalankan fungsinya tanpa khawatir akan sensor dan pembredelan dari pemerintah, justru konten yang disajikan cenderung mengarah pada kepentingan tertentu. Kebebasan pers sendiri telah dijamin, sesuai Bab VIII Pasal 18 Ayat 1 UU No 40/1999 tentang Pers yang berbunyi "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 (Ayat 2 dan 3) dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta".  Meski begitu, kebebasan pers yang kian terjamin tak lagi sejurus dengan kebebasan berekspresi publik secara universal. Lebih dari itu, kebebasan pers juga dijadikan ajang perang propaganda untuk merealisasikan kepentingan dan mempengaruhi publik sesuai kepentingan itu. R Kristiawan (2012) dalam tesis berjudul Liberalisasi Media: Kajian Ekonomi Politik tentang Demokratisasi dan Industrialisasi Media di Indonesia, mengemukakan bahwa media tidak lagi memperhatikan agenda publik, namun bergerak menurut kepentingan internal media itu sendiri.
Peran media massa sebagai pilar keempat demokrasi dikebiri oleh perusahaan media itu sendiri. Media massa kini lebih banyak menampilkan konten yang bermanfaat dari segi pasar, di mana pendapatan besar dari pengiklan bisa diraup. Analogi bahwa pengekangan rezim otoriter terhadap pers berarti pengekangan pada aspirasi publik sudah sepatutnya dipertanyakan. Ketika era otoriter sudah berlalu dan pers begitu genggap gempita merayakan kebebasannya seperti saat ini, tetap saja tak berbanding lurus dengan tersampaikannya aspirasi publik. Dengan begitu, rasanya sudah seyogianya analogi tersebut direvisi lantaran pasar melalui liberalisasi industri media telah merebut apa yang seharusnya menjadi kepentingan publik.
Belum lagi, intervensi pemilik modal kerap kali mewarnai dapur redaksi yang sudah semestinya independen. Melalui film dokumenter Di Balik Frekuensi, Ucu Agustin menguak fakta-fakta seputar konglomerasi media di mana frekuensi publik hanya dimanfaatkan oleh segelintir kepentingan pihak tertentu. Film dokumenter tersebut mengajak publik untuk melihat apa yang kini tengah terjadi di dunia pers, utamanya televisi di Indonesia. Dipaparkan betapa pemilik modal sebuah media di Indonesia banyak menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan bisnis dan politiknya, sehingga pemberitaan televisi disajikan sesuai kepentingannya. Ucu Agustin mengatakan (dalam www.tempo.co diakses 11 Januari 2015 pukul 23.12 WIB), ada isu penting yang ingin diangkat setelah reformasi sekian lama. Bagaimana kondisi media, terutama pemilik media dan kepentingan politik dengan frekuensi yang dipakai itu.
Bersama produser Ursula Tumiwa,  Ucu Agustin menceritakan apa yang terjadi pada media televisi dan konglomerasi media melalui kisah Luviana, jurnalis Metro TV yang dipecat sepihak oleh Metro TV, dan kisah Hari Suwandi - Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo di Sidoarjo. Ditunjukkan perbedaan drastis pembingkaian berita yang ditampilkan antara Metro TV dan TV One. Dalam ulasannya, TV One lebih banyak menyajikan berita lumpur Lapindo di Sidoarjo sebagai bencana alam yang bukan kesalahan mutlak dari Lapindo. Hal itu lantaran ada keterlibatan pemilik TV One, Aburizal Bakrie dalam kasus Lapindo Brantas tersebut.
Sesekali, diulas pula ribuan media massa di Indonesia  dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya menghegemoni pemikiran publik, ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja. Bahkan, untuk televisi di Indonesia, hanya dimiliki oleh 5 orang saja yakni, Aburizal Bakrie (TV One dan ANTV), Surya Paloh (Metro TV), Harry Tanoesodibjo (RCTI, Global TV dan MNC TV), Chairul Tanjung (Trans TV dan Trans 7), dan Eddy Kurnadi Sariaatmadja (SCTV dan Indosiar).
Kendati demikian, wartawan sebagai ujung tombak penguakan fakta dalam sebuah pemberitaan juga tak bisa disalahkan sepenuhnya. Menurut pengalaman penulis yang terjun langsung di dunia jurnalistik, acap kali wartawan tak memiliki kebebasan dalam menuangkan karya. Aspek politik ekonomi yang dimiliki sebuah institusi/perusahaan pers memberi batas pada wartawan untuk menguak sebuah kasus yang semestinya perlu dikabarkan untuk diketahui publik. Sebuah laporan berbentuk berita yang disodorkan pada redaktur tak jarang mengalami perombakan dalam hal pembingkaian berita atau bahkan sama sekali tak diterbitkan. Hal ini juga sempat di bahas dalam film Di Balik Frekuensi di mana seorang wartawan TV One, MNC Group dan Metro TV mengakui dilematis yang terjadi pada nuraninya akibat intruksi dan intervensi pemilik modal melalui pemimpin redaksi yang diteruskan pada redaktur dan wartawan itu.
Wahyu Wibowo (2009), meresahkan ungkapan kebebasan pers dewasa ini, sehingga perlu dilihat secara kritis. Wibowo memaparkan, kebebasan pers yang telah dijamin undang-undang pada dasarnya berjalan linear dengan proses produksi pers sehingga prinsip-prinsip etis wartawan tidak terlepas dari hubungan antarmanusia. Dalam penegasan lain, selalu terjadi dialektika yang dikotomis antara idealisme wartawan dan institusionalisme pers, yang sering kali mengorbankan idealisme wartawan (Wibowo, 2009: 4).
Kovach dan Rosenstiel (2001) berpendapat, perlu adanya pemisahan yang jelas antara dapur redaksi dengan unsur bisnis dalam sebuah perusahaan media. Paradigma pers di Indonesia saat ini memunculkan kekhawatiran, di mana wartawan (atas tuntutan perusahaan media) lebih sibuk mengurusi bisnis ketimbang melaksanakan misi pers dalam melayani kepentingan publik. Penulis sendiri pernah terlibat dalam kondisi di mana seorang wartawan dituntut mencari iklan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, yang pada akhirnya berimplikasi pada independensi dan penulisan berita yang tendensius.
Padahal, jika merujuk pada pendapat Kovach dan Rosenstiel, dalam bisnis media ada sebuah segitiga unik. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga. Dalam segitiga itu, bisnis media berbeda dengan kebanyakan bisnis di mana konsumen diposisikan sebagai pelanggan (customer). Pasalnya, kebanyakan media memberikan berita secara gratis baik media yang bergerak pada jenis televisi, radio maupun online. Pun demikian pada media cetak, ongkos yang dibayarkan konsumen untuk membeli surat kabar tak cukup jika dikalkulasikan untuk menutup biaya produksi. Artinya, konsumen mendapat subsidi dari perusahaan media.
Dari mana media mengambil untung? Jawabannya adalah pada pemasang iklan. Dalam hal ini, pemasang iklan tentu mempertimbangkan kredibilitas sebuah perusahaan media. Kredibilitas itu didapat dari kepercayaan publik yang tercemin melalui oplah atau tingkat konsumsi sebuah media. Jika sebuah media massa dalam penyajian kontennya telah menunjukkan itikad menyelipkan kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan publik, maka otomatis kepercayaan publik menurun. Alhasil, pemasang iklan juga harus berfikir ulang untuk memasang iklan pada media tersebut. Dengan demikian, sekiranya pendapat tentang segitiga unik tersebut diterapkan agar perusahaan media tetap mendapat untung tanpa mengkerdilkan misi pers menyuarakan kepentingan publik.

Sumber rujukan
Buku:
Atmakusumah, Astraatmadja. 2009. Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta: Spasi & VHR Book.
Kovach, Bill & Tom Rosenstiel. 2001. The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and Public Should Expect. New York: Crown Publishers.
Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondal. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Internet:
Regulasi:
UU No 40/1999 tentang Pers
Jurnal:
Mosco, Vincent. 2008. Current Trends in the Political Economy of Communication. Canada: Global Media Journal
Tesis:
Kristiawan, R. 2012. Liberalisasi Media: Kajian Ekonomi Politik tentang Demokratisasi dan Industrialisasi Media di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia
Film:
Ucu Agustin. Di Balik Frekuensi

Komentar