Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Orisinalitas Berpikir dan Kapitalisasi Pendidikan



Emha Ainun Nadjib (tengah)
Orisinalitas berpikir sangat diperlukan untuk mencapai pendidikan yang berdaulat. Hal itu diungkapkan tokoh intelektual, Emha Ainun Nadjib dalam acara Diskusi Publik Sinau Kedaulatan di Gedung Fakultas Hukum (FH), Universitas Brawijaya (UB), Senin (31/8/2015).

Pria yang akrab disapa Cak Nun itu menilai, Indonesia sudah banyak kehilangan kedaulatan di berbagai bidang, termasuk dalam pendidikan dan kebudayaan. Ia menyebut, cara berpikir masyarakat sudah terlalu banyak terkontaminasi hal-hal dari luar diri sendiri. Padahal, potensi menggali orisinalitas berpikir sangat terbuka lebar.

“Anda perlu jujur pada diri anda sendiri untuk menemukan kemurnian berpikir,” kata Cak Nun di sela diskusi. Dikatakannya, manusia memiliki bekal dengan otak yang dimiliki. Pada otak manusia, lanjut dia, terdapat pendaran ‘gelombang elektromagnetik’ dari Allah yang membuatnya mampu berpikir.

“Anda dikasih otak untuk bisa berfikir. Kemampuan itu yang membuat manusia kreatif, bisa bikin negara, sekolah, dan segala macam. Beda dengan hewan, misalnya, ayam juga punya otak. Tapi kambing atau ayam tidak mendapat ‘gelombang listrik’ dari Allah,” tambahnya. Gelombang listrik yang dimaksud ialah hidayah Allah berupa informasi-informasi yang menuntun manusia menjalani hidupnya. Cak Nun menyebut, hidayah itu diberikan pada setiap ubun-ubun manusia.

“Allah sendiri Maha Pendidik. Maka ketika bayi, yang paling dilindungi ibu saat digendong adalah ubun-ubun. Karena kepala sangat penting. Tidak ada pada bangsa lain tradisi gendong bayi dengan melindungi ubun-ubun. Orang barat nggak paham, tapi mbah-mbah kita paham itu,” imbuhnya.

Cak Nun menambahkan, hidayah yang dipancarkan Allah tidak pernah berhenti dan tak terbatas jumlahnya. Ia menyayangkan banyaknya manusia yang tak menggali potensi untuk menangkap hidayah itu. “Posisi manusia sekarang tidak tahu clausul itu. Malah banyak yang menolak gelombang itu. Allah tidak pernah berhenti memendarkan gelombang, cukup ‘kun fayakun!’, sudah online sepanjang masa,” tandasnya.

Suami Novia Kolopaking itu menyebut, hidayah yang diberikan pada setiap manusia sebenarnya sama. Hanya saja, tidak semua manusia bisa menangkap dengan kadar yang sama. Hal itu disebabkan ‘software’ daya tangkap yang dimiliki manusia berbeda.

“Anda harus menginstal ‘software-software’ terbaru. Ini menentukan tingkat daya tangkap informasi. Kalau perlu nafsumu kamu tarik ke atas, kamu ubah jadi akal untuk menjadi kreativitas,” tutur pria yang sempat mencicipi pendidikan di Universitas Gajahmada itu.

Cak Nun menambahkan, hidayah memiliki sejumlah sebutan, tergantung kapasitas yang mampu ditangkap, yakni wahyu, karomah, dan ilham. Khusus untuk wahyu, Allah memeberikan ‘software’ khusus yang mampu menangkap hidayah secara penuh. “Ini dari awal sudah di-site up dari Allah untuk 25 rasul dan nabi-nabi lain. Sedangkan karomah itu yang mampu ditangkap wali-wali Allah. Sedangkan manusia biasa bisanya menangkap ilham,” ungkapnya.

Cak Nun memberi contoh, tidak berdaulatnya pendidikan Indonesia tercermin dalam proses pengerjaan skripsi. Ia berpendapat, dalam menulis skripsi, mahasiswa tidak boleh berdaulat. “Kalau nulis skripsi anda kan tidak berdaulat, harus mengutip pendapat menurut siapa-siapa dulu. Di kampus anda dididik berdaulat dengan cara tidak berdaulat. Tapi ndak masalah, dengan begitu anda jadi rindu terhadap kedaulatan, dan mencari kedaulatan itu,” urainya, disambut tepuk tangan hadirin.

Menyinggung dunia pendidikan, budayawan yang kini aktif bersama kelompok gamelan Kiai Kanjeng itu menilai, Indonesia telah memasuki era kapitalisasi pendidikan. Dikatakannya, pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi mementingkan substansi. Sebaliknya, institusi-institusi pendidikan baik tingkat sekolah maupun perguruan tinggi, lebih mengedepankan citra institusi itu.

“Sekarang kita sampai pada kapitalisasi pendidikan di mana subtansi pendidikan tidak penting lagi. Yang diutamakan sekarang adalah citra lembaga, anak yang dididik tak lagi jadi fokus,” papar Cak Nun. Padahal, menurutnya, pendidikan merupakan solusi utama memperbaiki kerusakan bangsa.

“Tapi sampai sekarang kita belum sampai pada tingkat kesepakatan formula yang jelas terkait pendidikan itu bagaimana,” pungkasnya.

*Ditulis ulang penulis, pernah tayang pada media online malangvoice.com

Komentar