Aksi teror berupa peledakan bom
dan penembakan di kawasan Tamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu menyita banyak
perhatian publik. Beragam gambar, informasi, dan komentar bertebaran secara cepat
dan silih berganti, baik di media sosial maupun media massa profesional. Cepatnya
informasi yang beredar membuat saya kagum pada kejelian analisis dan kesigapan
para pihak menyikapi insiden itu.
Ada yang menuding aksi itu hanya
sandiwara untuk pengalihan isu-isu lain; ada pula yang lebih tertarik
membicarakan tukang sate, bakul kopi, dan para pengasong lain yang jeli
memanfaatkan situasi. Yang paling mengagumkan adalah para wanita kita yang
begitu teliti mengamati pesona pak polisi dalam beraksi mengenakan kaos polo
dan sepatu keren. Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia bukanlah golongan
apatis, melainkan manusia yang peduli sesama, serta menjunjung tinggi budaya
literasi melalui penyebaran informasi beserta kritik dan argumennya.
Terus terang saja, ketika isu teror
ini masih sangat hangat-hangatnya, saya tak banyak berkomentar – apalagi
membuat esai atau penelitian serius untuk menjawab segala teka-teki yang bermunculan.
Sebab saya sadar, kemampuan otak saya belum sebanding dengan para netizen yang
gigih mempertahankan pendapatnya seiring berkembangnya setiap isu yang sedang mencuat
di Indonesia – namun cepat pula melupakan isu itu untuk ramai-ramai beralih
fokus ke isu lain.
Karena alasan itu pula, saya
memilih membuat tulisan tentang aksi teror ini, justru ketika insiden ini tak
lagi diperbincangkan banyak orang. Alasannya sederhana, agar tulisan saya yang
dangkal ini tidak memiliki peluang dibandingkan dengan tulisan terbaru lainnya.
Paling tidak, jika masih ada yang menulis tentang isu ini, jumlahnya pasti tak
sebanyak tulisan-tulisan ketika bom baru meledak.
***
Saya tidak ingin melanjutkan atau
membantah opini-opini yang sudah tersebar sebelumnya, apalagi terkait dugaan konspirasi
bahwa aksi teror di Tamrin hanya sandiwara belaka. Tulisan ini bukan merupakan
bentuk tudingan dan sama sekali tidak bermaksud mengadili siapapun, baik tersangka,
korban, atau pihak terkait. Berdasarkan judul yang sudah saya cantumkan di
atas, saya ingin menarik isu ini menuju dimensi yang lebih luas, yakni
keterkaitan antara teroris dengan komunis di Indonesia.
Boleh dibilang, apa yang saya
sajikan ini hanya berdasarkan ilmu cocoklogi
semata. Apalagi, jika ditinjau dari berbagai paradigma ilmu pengetahuan
kontemporer, bagaimana mungkin teroris (dalam hal ini yang berbalut kedok agama
– khususnya Islam), memiliki pertalian dengan komunis? Kendati begitu, mari
kita sama-sama berendah hati saja, untuk merelakan diri membaca
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi berdasarkan ilmu cocoklogi tersebut.
Harus saya akui, sebenarnya
tulisan ini berakar dari kekhawatiran saya (silakan dianggap kekhawatiran
berlebih), tentang hari depan yang akan dilalui Bangsa Indonesia. Saya khawatir
teroris menggantikan ‘peran’ komunis. ‘Peran’ yang saya maksud dalam tulisan
ini ialah, semacam bahan penempelan stigma pada pihak tertentu. Jika merujuk
pada Orde Baru, stigma-stigma begitu cepat menempel pada para pihak yang
berusaha mengkritisi kinerja pemerintah. Orang sudah layak disebut komunis jika
menggelar diskusi dengan tema-tema sosial yang menggelitik telinga birokrat.
Seorang guru TK sudah masuk kategori halal darahnya untuk ditumpahkan, hanya
karena menyanyikan lagu Genjer-genjer.
Belum lagi, masyarakat dipenuhi
duga-sangka satu sama lain, karena ketakutan-ketakutan yang tercipta.
Orang-orang dihadapkan pada kondisi hanya memiliki dua pilihan dalam hidupnya:
membunuh atau dibunuh. Toh, mengharapkan kondusivitas dari aparat juga bukan
jaminan dalam ketegangan yang berlangsung.
Saya khawatir kelak, orang sudah
sah dijadikan mayat dalam glangsing
hanya karena mengikuti pengajian yang dinilai menyimpang oleh kumpulan ulama tertentu.
Jangan sampai, pembasmian massal atas nama stabilitas keamanan kembali terjadi,
meski kali ini yang mungkin jadi korban adalah orang berjenggot atau celana cingkrang; atau sekumpulan orang yang
atas maksud tertentu dilekati stigma teroris.
Saya tidak bermaksud mengadili
Orde Baru, atau mencurigai rezim Jokowi. Saya juga tidak bermaksud membela
terduga komunis (atau terduga teroris berjenggot). Ulasan yang saya sampaikan
di atas merupakan refleksi atas pengalaman Bangsa Indonesia dan sedikit
analisis sempit tentang kemungkinan-kemungkinan yang saya khawatirkan terjadi.
Toh saya sendiri tidak
peduli-peduli amat dengan latar belakang orang lain. Saya tidak peduli mau anda
agamis, komunis, zionis, ekstremis, liberalis, atau bahkan atheis. Yang saya
lihat adalah manfaat keberadaan anda dalam hidup bermasyarakat. Kalaupun saya bersilaturahmi
dengan siapapun yang dianggap komunis, zionis, atau liberalis, bukan berarti
saya musti ikut-ikutan menganut paham-paham itu. Saya tetaplah saya. Sebab
kambing tidak akan menjadi sapi, meskipun berada dalam satu kandang dengan
sapi.
Kita tidak perlu belajar teori
yang ndakik-ndakik, untuk sekadar
mencintai sesama. Kita juga tidak perlu merujuk pemikiran Marx, jika ada orang
merintih meminta tolong. Tak perlu juga bertanya apa agamanya jika hendak
menolong orang yang kesusahan. Rasa-rasanya, kita juga tidak harus mendewakan
ilusi demokrasi atau bergabung dengan aktivis HAM – yang senantiasa berafiliasi
dengan jaringan internasional – jika ingin menjadi manusia yang memanusiakan
manusia.
Kiranya kita perlu mendengarkan
penuturan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahwa mereka yang bukan saudaramu dalam
iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan. Kalimat itu sunggah sederhana, namun
sangat aplikatif dalam berbagai konteks. Jika saya mengutip Ali, jangan lantas
anda menganggap saya golongan Syiah. Mari belajar lagi tentang kambing dan sapi
seperti yang saya bahas di atas. Namun jika anda bersikukuh menuduh saya Syiah,
ya abdi mah naon atuh. Lagi pula,
kambing tidak akan berubah menjadi sapi, meski seribu kali dituduh-tuduh
sebagai sapi.
(Bersambung….)
Komentar