Bila kaum muda yang telah belajar di
sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan
masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang
sederhana,maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali
- Tan Malaka –
Saya mengawali
tulisan ini dengan mengambil kutipan tersebut bukan tanpa alasan. Menurut saya,
ungkapan Tan Malaka sangat relevan diaplikasikan dalam berbagai konteks, hingga
hari ini. Kalimat itu merupakan peringatan bagi kaum terpelajar, terutama bagi
diri saya sendiri, yang kebetulan berkesempatan mengenyam pendidikan hingga
tingkat perguruan tinggi.
Karena itu, dalam kehidupan
sehari-hari, saya mencoba menghilangkan batasan-batasan antara (yang menurut
pandangan umum) kaum terpelajar dan tidak terpelajar. Apalagi, orang-orang yang
tidak sekolah, menurut saya bukan berarti tidak terpelajar. Banyak dari mereka
yang mampu belajar dari apa saja di lingkungan sekitarnya.
Namun rasa-rasanya hal itu tidak
banyak disadari. Upaya mengais ilmu di luar sekolah atau kampus, selama ini
masih dipandang remeh. Kaum sekolahan masih terkesan – seperti kata Tan Malaka
– terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat, sehingga muncul
sekat-sekat dan jarak yang makin hari makin lebar.
Lihat saja, orang-orang miskin sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berpendapat tentang kemiskinan yang dideritanya, karena kini pendapat pakar kemiskinan lebih laku di media-media. Petani-petani di desa yang tiap hari bertani dengan fasilitas dan kondisi seadanya –namun mampu menghasilkan panen berkualitas – masih dianggap kalah pintar ketimbang sarjana-sarjana pertanian yang barangkali hanya sesekali bertani ketika praktikum atau saat ada proyek penelitian.
Kondisi ini sama halnya ketika sekelompok aktivis anti-rokok mengunjungi sebuah desa untuk melakukan sosialisasi bahaya merokok. Disebutlah dampak-dampak negatif akibat merokok, mulai penyakit ringan hingga risiko kematian. Padahal, di desa itu tak sedikit kakek-kakek yang tiap hari menghabiskan belasan batang rokok, baik kretek produksi perusahaan maupun rokok tingwe (linting dewe) – namun tak kunjung mati juga.
Di kampus saya dan di kampus-kampus lain, saya banyak mengenal orang-orang hebat. Mereka adalah pemikir kelas wahid, yang hampir tiap hari, waktu luangnya dihabiskan dengan diskusi dan membaca buku. Sesekali, mereka menggelar demo pada momen-momen tertentu.
Dari banyaknya orang-orang pintar yang saya kenal itu, saya sangat sedih ketika melihat sebagian dari mereka –atau mungkin termasuk saya sendiri – yang merasa cukup hanya hidup dengan alam pikirannya, tanpa berinteraksi dengan masyarakat untuk sekadar silaturahim atau mendengar keluh-kesahnya.
Sebagian besar mereka adalah mahasiswa rantau, yang pergi jauh meninggalkan kampungnya masing-masing untuk menuntut ilmu di kampusnya yang juga masing-masing. Beberapa yang saya kenal, menjadi asing ketika pulang ke desanya, tak lagi bergaul dengan tetangga dan malu-malu menjalani aktivitas sebagai warga desa, entah karena apa. Tentu saja saya tidak gegabah menuding ini salah pendidikan atau salah teman saya yang bersangkutan itu. Hal ini masih begitu rumit bagi saya.
Program-program Praktik Kerja Nyata yang dicanangkan kampus juga terkesan formalitas belaka. Mahasiswa hanya dituntut melaksanakan atau menjalani sebuah kegiatan sampai batas waktu tertentu, untuk kemudian selesai dan dilaporkan dalam bentuk tulisan berlembar-lembar yang nantinya mangkrak di perpustakaan.
Saya jadi teringat beberapa momen tatkala saya menjumpai seniman jalanan. Umumnya, pengamen menghentikan aktivitasnya manakala sudah mendapat uang, untuk kemudian mengamen di tempat lain. Namun, beberapa kali saya bertemu pengamen yang tidak sekadar mengamen.
Di sebuah kantin kampus saya misalnya, ada pengamen yang tak juga pergi meskipun sudah diberi uang. Ia masih terus memainkan gitar dan bernyanyi, meski hanya mendapat abai dari warga kantin. Awalnya, saya –dengan begitu bodohnya – mengira pengamen itu terus mengamen untuk mendapat uang lebih. Ternyata saya keliru. Pengamen itu malah mengambil tempat duduk, dan berkenalam, serta berbincang panjang lebar dengan kami. Sayangnya, saya lupa nama pengamen itu.
Di kesempatan lain, saya berkenalan dengan Cak Kandar, ketika ia mengamen di sebuah pujasera dekat Stasiun Kota Baru Malang. Penampilannya nyentrik. Cara ngamennya pun unik. Ia memanfaatkan sehelai daun untuk ditiupnya hingga mengeluarkan nada-nada indah. Seperti pengamen yang saya temui sebelumnya, Cak Kandar juga tidak sekadar mengamen. Kami pun berkenalan dan akhirnya saya tahu ternyata ia lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Malang.
Dari dua seniman tersebut, saya belajar banyak hal. Mereka menjalani keseharian tak melulu dengan formalitas. Bahwa memang benar seniman adalah ‘jubah’ mereka, namun ‘jubah’ itu tak lantas menghilangkan momen perjumpaan antara manusia dengan manusia, bukan sekadar perjumpaan antara pengamen dengan orang yang diameni.
Kedua seniman itu sadar bahwa identitasnya sebagai seniman tak membatasinya untuk berinteraksi dengan ‘orang di luar’ seniman. Meskipun dia seniman, dia tidak lupa bahwa dia adalah dia. Pelajaran itu membuat saya malu pada diri sendiri, yang terkadang masih belum bisa mendobrak sekat antara ‘saya adalah mahasiswa’ dan ‘saya adalah saya’, sehingga ‘saya sebagai mahasiswa’ akhirnya turut serta mempertebal sekat dengan orang-orang yang bukan mahasiswa.
Jadi, sampai kapan kita – atau saya
– merasa begitu tinggi, sehingga menganggap diri tak perlu untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan
cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana?
Komentar