![]() |
Ilustrasi Gadis |
Rintik hujan mulai membasahi aspal jalanan sempit khas perkampungan
padat ketika laju motorku belum jauh dari rumah. Perempatan demi
perempatan berlalu begitu saja tanpa memberi pertanda hujan segera reda. Sialnya
aku tak punya jas hujan.
Siapa menyangka hari ini bakal turun hujan? Meski November mulai menuju
ujungnya, toh musim penghujan yang semestinya berlangsung sejak beberapa bulan
lalu tak kunjung terlaksana. Ini kali pertama hujan itu turun sejak kemarau
panjang senantiasa menghiasi perbincangan umum, baik lewat mulut ke mulut maupun berita di
televisi atau koran-koran nasional. Sesaat sebelum meninggalkan rumah, juga
belum tampak akan turun hujan.
Mentari yang belum sempurna menuju langit di atas kepala masih
malu-malu, bersembunyi di balik gelayut awan kelabu. Motor yang kukendarai
terus melesat lirih, harus bergegas menuju kampus. Teman-teman telah menungguku, mengerjakan tugas kelompok
yang hampir sepekan belum tersentuh.
Sementara, sore nanti kami sudah
harus mempresentasikannya di depan kelas. Perlahan membelah jalanan, bunyi knalpot motor
buntutku bertalu-talu, tak mau kalah dengan gemercik air dan klakson pengendara
lain.
Tapi, belum tertempuh
separuh jarak dari kampus, dingin mulai menembus kulit. Jaket lumayan tebal yang
kukenakan tak berarti, tak mampu menangkal zat cair yang meresap ke pori-pori.
Tubuhku kini basah kuyup.
Seakan memberi pelampiasan sejak bersembunyi berbulan-bulan di balik
langit, butiran air yang meluncur makin tak terkira jumlah dan intensitasnya.
Ransel di punggungku sepertinya mulai tak tertolong. Batinku bergejolak. Tidak
mungkin aku bersikukuh melanjutkan perjalanan, laptop dan berkas-berkas penting
di dalam tas tak bisa diajak kompromi. Duh, tekadku, akhirnya kau mengalah jua.
Aku menepi di bekas komplek pertokoan yang belum lama tutup. Motor segera
kuparkir sembarang, kemudian melangkah, mencari sela di antara kerumunan orang yang lebih
dulu berteduh di tempat itu.
***
“Uhuk-huk,” seorang gadis terbatuk-batuk, berkali-kali, cukup menarik
perhatianku yang mulai resah menunggu hujan reda meski belum genap semenit
berteduh.
Aku mengalihkan pandang
padanya. Sepertinya ia menyambut. Kedua pasang mata kami saling bertatap, namun
sekilas. Dia terburu menoleh ke arah lain, sebelum akhirnya menjatuhkan
pandangan pada buku di tangannya. Tapi aku tetap memandangnya. Ia mengerutkan
kening, tampak amat konsentrasi seolah menepi seorang diri di antara hujan. Entah sadar atau tidak sedang kuamati,
ia terus membaca,
sesekali tersenyum, mungkin berimajinasi tentang bacaannya. Senyumnya menimbulkan
lesung, membuat paras sawo matangnya makin manis, mempesona. Tunggu, lesung pipi itu tidak asing.
Rasa-rasanya aku pernah mengalami nuansa semacam ini.
“Uhuk-uhuk,” ia kembali terbatuk, namun tetap fokus pada bacaannya, dan
aku harus merevisi persepsi awalku
yang tadi mengira batuknya dibikin-bikin.
***
“Tommy, kenapa belum juga sampai?
Kami menunggumu berjam-jam. Jangan bilang kalau ketiduran lagi! Harus berapa
kali aku bangunkan kamu? Sejak pagi tadi, coba lihat riwayat panggilan di
ponselmu, hitung sendiri…,” sebentuk geram menyeruak dari ponselku, sesaat
setelah ia berdering dan kusentuh ikon terima panggilan.
“Aku sudah berusaha ngebut, apa
di kampus tidak hujan? Aku terpaksa berteduh,” cetusku.
“Tapi nanti sore kita harus
presentasi, bagaimana ini. Kau tahu
sendiri, mana mungkin mengerjakan
ini tanpamu. Kamu satu-satunya orang yang bisa menyelesaikanya.”
“Mau gimana lagi, aku belum
bisa melanjutkan perjalanan, nggak
bawa jas hujan. Sudahlah, mau sampai kapan kalian mengandalkan aku? Kita
sama-sama terpelajar. Sebaiknya kalian coba sebisanya dulu. Dalam kondisi
seperti ini, aku belum tentu hadir di kelas nanti….,” belum selesai kalimatku,
nada sambung terputus.
Aku mendapatkan kesadaranku kembali ketika menoleh ke arah gadis itu
lagi. Ternyata dia masih sibuk dengan bacaannya. Pakaiannya lusuh, tapi tetap
terlihat anggun dengan rambun ikal terurai, tampak basah. Kaos oblong dan
celana sobek di bagian lututnya membuatku merasa janggal. Ketika dua bola
mataku mengarahkan fokus pada lesungnya, ingatanku memaksa mengorek
lipatan-lipatan masa lampau. Entahlah, aku seperti mengenalnya. Ingin aku menghampirinya,
namun nyali seakan menciut bebarengan saat niat itu timbul. Kuambil bungkus
kretek di saku kemeja, sebatang mungkin cukup membantu menangkal dingin di sekujur tubuh, sambil meneruskan lamunan
tentang dia.
Sementara, pekat awan masih setia bergelayut menyelimuti kota ini,
meski sudah hampir satu jam aku berteduh. Dari kejauhan, mulai ramai pengasong
dadakan menghampiri bekas pertokoan tempat orang-orang berteduh. Mereka banyak
menjajakan jas hujan sederhana dari plastik. Ada pula yang menjajakan kopi dan
makanan ringan macam kacang, tahu, dan sebagainya.
Pengasong jas hujan laris. Orang-orang banyak membeli agar tak terus
menunggu hujan reda. Menunggu memang hal paling menyebalkan. Siapa yang suka
dengan aktivitas itu? Tokoh sekaliber calon presiden saja lebih memilih menyewa
lembaga survey untuk memperoleh hasil pungutan suara, untuk sesaat kemudian
mendeklarasikan kemenangan. Mereka lebih percaya pada lembaga survey yang ia
bayar sendiri, ketimbang menunggu penghitungan di KPU yang musti melalui
berbagai proses sesuai jadwal.
“Ayo siapa lagi, jas hujan murah, lima belas ribu,” teriak salah satu
pedagang yang berjalan dan menatap ke arahku.
Aku membuang muka, sedetik
setelah tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala
sebagai tanda menolak tawaran asongan itu. Sebenarnya, aku bisa saja membeli
satu, agar segera melanjutkan perjalanan ke kampus. Namun jemariku lebih
menurut pada batin yang berkata jangan keluarkan uang untuk beli jas hujan. Jika kamu membelinya, kamu pasti bergegas
melewatkan momen ini. Penasaranmu takkan terjawab tentang gadis itu. Batinku
mengoceh, cukup melenyapkan hasratku mengikuti presentasi di kelas sore nanti..
“Tom, boleh pinjam korek?”
Pertanyaan itu melenyapkan ocehan batinku. Aku langsung terpana pada
sumber suara.
***
“Hujan selalu mengingatkanku pada syukur Tom. Entahlah, aku selalu
menikmati momen merdu ini. Tapi aku tahu, hujan membuatmu sebal hari ini, aku
dengar percakapan teleponmu tadi. Kukira kamu sudah lulus. Sebaiknya jangan
lama-lama jadi mahasiswa. Sayang waktumu terbuang sia-sia. Lagi pula, aku makin
sadar kalau kampus nggak lagi
mengutamakan keluhuran sebagai sumur ilmu dan ladang pengetahuan,” ia berhenti
sejenak, menghisap batangan rokok yang terapit di antara dua jari tangan
kirinya.
“Kampus sudah sukses jadi
industri, mereka juga sukses mencetak mesin-mesin pemuja konglomerasi. Kamu pasti
hafal Tri Dharma Perguruan Tinggi kan? Ya, mungkin bagi kampus, selain untuk
dikhianati, slogan tentang pendidikan, penelitian dan pengabdian itu fungsinya
hanyalah dihafal, tanpa realisasi,” Dewi melanjutkan gumamnya lirih, setelah
mengepulkan asap rokok ke udara.
Aku terus bertindak sebagai pendengar setia. Dari dulu, dia memang
seperti itu. Pesonanya selalu membuat orang di sekitarnya khidmat menyelami
makna yang menyembur tutur tiap kata dari mulutnya. Mestinya kuhampiri dia tadi. Aku takut dikiranya
aku sengaja menghindar dan pura-pura tidak mengenalnya. Maafkan aku Wi, batinku. Lesung pipinya saja yang kuingat. Aku sungguh
tak mengenalnya kalau saja dia tak meminjam korek.
Penampilannya benar-benar tak seperti Dewi yang kukenal dulu. Padahal,
hanya tiga tahun kami berpisah. Aku masih ingat suara lantangnya saat memimpin
demo di depan balai kota. belum genap empat tahun silam. Orasinya kala itu
menggetarkan hati dan menenangkan jiwa ratusan massa yang mulai bergelagat tak
sabar. Belasan mahasiswa yang mulai memanjat pagar hendak merangsek masuk, mengurungkan niat
setelah mendengar kata demi kata dari mulut Dewi. Dari situ aku mengenalnya.
Kami sempat satu organisasi, dan berkuliah di kampus sama, hanya beda fakultas.
Hubungan kami dulu sempat dekat meski belum sampai menjalin komitmen pacaran.
Ah, bagaimana dia bisa hilang tak
berjejak selama ini? Aku mencarimu Wi, kabarmu tak pernah sampai pada inderaku.
Tak seorangpun di fakultasmu yang bisa menghantarkan pencarianku.
“Kenapa melamun Tom?”
“Maaf, hanya memikirkan sesuatu. Kamu sendiri apa kabar Wi? Sudah
lulus?”
“Orang seperti aku ini nggak
cocok hidup di kampus Tom. Salah satu kesalahan terbesar dalam hidupku ya yang
dulu itu, sok menerobos takdir sebagai orang pinggiran, sok ikut-ikutan jadi
mahasiswa. Padahal ibuk sudah pernah ingetin
kalau kuliah itu mahal,” paparnya, sambil menengok langit yang tak lagi menjatuhkan
butiran air sederas tadi.
“Maksudmu Wi?”
“Aku berhenti kuliah Tom, nggak
ada duit.”
“Bukannya kamu dapat beasiswa?”
“Kamu seperti nggak tahu saja. Beasiswa hanya monopoli birokrat kampus yang bisa
dicabut kapan saja dengan alasan yang mudah dibuat-buat. Hujan sudah reda,
segera ke kampus Tom. Jangan memperlambat kelulusanmu hanya karena bolos!”
Ucapannya bagai sihir yang tak bisa ditolak.
Tapi aku masih belum beranjak.
“Jangan diam saja Tom. Aku tahu ada yang belum
selesai. Tapi aku juga mau pulang, ada sesuatu yang perlu dibereskan usai hujan
begini. Temui aku lagi di tempat ini besok sore!”
“Biar kuantar dulu sampai rumahmu.”
“Di sini tempatku pulang Tom. Sejak ibuk
meninggal dan rumah di sita Pak Kades, aku lebih sering tinggal di bekas
pertokoan ini, selain di masjid-masjid. Karena tempat ini yang paling sering
kusinggahi, aku perlu menguras air yang membuat lantai di dalam sana becek,
pergilah!”
Komentar