Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Gadis di Bekas Pertokoan


Ilustrasi Gadis

Rintik hujan mulai membasahi aspal jalanan sempit khas perkampungan padat ketika laju motorku belum jauh dari rumah. Perempatan demi perempatan berlalu begitu saja tanpa memberi pertanda hujan segera reda. Sialnya aku tak punya jas hujan.
Siapa menyangka hari ini bakal turun hujan? Meski November mulai menuju ujungnya, toh musim penghujan yang semestinya berlangsung sejak beberapa bulan lalu tak kunjung terlaksana. Ini kali pertama hujan itu turun sejak kemarau panjang senantiasa menghiasi perbincangan umum, baik lewat mulut ke mulut maupun berita di televisi atau koran-koran nasional. Sesaat sebelum meninggalkan rumah, juga belum tampak akan turun hujan.
Mentari yang belum sempurna menuju langit di atas kepala masih malu-malu, bersembunyi di balik gelayut awan kelabu. Motor yang kukendarai terus melesat lirih, harus bergegas menuju kampus. Teman-teman telah menungguku, mengerjakan tugas kelompok yang hampir sepekan belum tersentuh. Sementara, sore nanti kami sudah harus mempresentasikannya di depan kelas. Perlahan membelah jalanan, bunyi knalpot motor buntutku bertalu-talu, tak mau kalah dengan gemercik air dan klakson pengendara lain.
Tapi, belum tertempuh separuh jarak dari kampus, dingin mulai menembus kulit. Jaket lumayan tebal yang kukenakan tak berarti, tak mampu menangkal zat cair yang meresap ke pori-pori. Tubuhku kini basah kuyup.
Seakan memberi pelampiasan sejak bersembunyi berbulan-bulan di balik langit, butiran air yang meluncur makin tak terkira jumlah dan intensitasnya. Ransel di punggungku sepertinya mulai tak tertolong. Batinku bergejolak. Tidak mungkin aku bersikukuh melanjutkan perjalanan, laptop dan berkas-berkas penting di dalam tas tak bisa diajak kompromi. Duh, tekadku, akhirnya kau mengalah jua. Aku menepi di bekas komplek pertokoan yang belum lama tutup. Motor segera kuparkir sembarang, kemudian melangkah, mencari sela di antara kerumunan orang yang lebih dulu berteduh di tempat itu.
***
“Uhuk-huk,” seorang gadis terbatuk-batuk, berkali-kali, cukup menarik perhatianku yang mulai resah menunggu hujan reda meski belum genap semenit berteduh.
Aku mengalihkan pandang padanya. Sepertinya ia menyambut. Kedua pasang mata kami saling bertatap, namun sekilas. Dia terburu menoleh ke arah lain, sebelum akhirnya menjatuhkan pandangan pada buku di tangannya. Tapi aku tetap memandangnya. Ia mengerutkan kening, tampak amat konsentrasi seolah menepi seorang diri di antara hujan. Entah sadar atau tidak sedang kuamati, ia terus membaca, sesekali tersenyum, mungkin berimajinasi tentang bacaannya. Senyumnya menimbulkan lesung, membuat paras sawo matangnya makin manis, mempesona. Tunggu, lesung pipi itu tidak asing. Rasa-rasanya aku pernah mengalami nuansa semacam ini.
“Uhuk-uhuk,” ia kembali terbatuk, namun tetap fokus pada bacaannya, dan aku harus merevisi persepsi awalku yang tadi mengira batuknya dibikin-bikin.
***
Tommy, kenapa belum juga sampai? Kami menunggumu berjam-jam. Jangan bilang kalau ketiduran lagi! Harus berapa kali aku bangunkan kamu? Sejak pagi tadi, coba lihat riwayat panggilan di ponselmu, hitung sendiri…,” sebentuk geram menyeruak dari ponselku, sesaat setelah ia berdering dan kusentuh ikon terima panggilan.
“Aku sudah berusaha ngebut, apa di kampus tidak hujan? Aku terpaksa berteduh,” cetusku.
“Tapi nanti sore kita harus presentasi, bagaimana ini. Kau tahu sendiri, mana mungkin mengerjakan ini tanpamu. Kamu satu-satunya orang yang bisa menyelesaikanya.”
“Mau gimana lagi, aku belum bisa melanjutkan perjalanan, nggak bawa jas hujan. Sudahlah, mau sampai kapan kalian mengandalkan aku? Kita sama-sama terpelajar. Sebaiknya kalian coba sebisanya dulu. Dalam kondisi seperti ini, aku belum tentu hadir di kelas nanti….,” belum selesai kalimatku, nada sambung terputus.
Aku mendapatkan kesadaranku kembali ketika menoleh ke arah gadis itu lagi. Ternyata dia masih sibuk dengan bacaannya. Pakaiannya lusuh, tapi tetap terlihat anggun dengan rambun ikal terurai, tampak basah. Kaos oblong dan celana sobek di bagian lututnya membuatku merasa janggal. Ketika dua bola mataku mengarahkan fokus pada lesungnya, ingatanku memaksa mengorek lipatan-lipatan masa lampau. Entahlah, aku seperti mengenalnya. Ingin aku menghampirinya, namun nyali seakan menciut bebarengan saat niat itu timbul. Kuambil bungkus kretek di saku kemeja, sebatang mungkin cukup membantu menangkal dingin  di sekujur tubuh, sambil meneruskan lamunan tentang dia.
Sementara, pekat awan masih setia bergelayut menyelimuti kota ini, meski sudah hampir satu jam aku berteduh. Dari kejauhan, mulai ramai pengasong dadakan menghampiri bekas pertokoan tempat orang-orang berteduh. Mereka banyak menjajakan jas hujan sederhana dari plastik. Ada pula yang menjajakan kopi dan makanan ringan macam kacang, tahu, dan sebagainya.
Pengasong jas hujan laris. Orang-orang banyak membeli agar tak terus menunggu hujan reda. Menunggu memang hal paling menyebalkan. Siapa yang suka dengan aktivitas itu? Tokoh sekaliber calon presiden saja lebih memilih menyewa lembaga survey untuk memperoleh hasil pungutan suara, untuk sesaat kemudian mendeklarasikan kemenangan. Mereka lebih percaya pada lembaga survey yang ia bayar sendiri, ketimbang menunggu penghitungan di KPU yang musti melalui berbagai proses sesuai jadwal.
“Ayo siapa lagi, jas hujan murah, lima belas ribu,” teriak salah satu pedagang yang berjalan dan menatap ke arahku.
Aku membuang muka, sedetik setelah tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala sebagai tanda menolak tawaran asongan itu. Sebenarnya, aku bisa saja membeli satu, agar segera melanjutkan perjalanan ke kampus. Namun jemariku lebih menurut pada batin yang berkata jangan keluarkan uang untuk beli jas hujan. Jika kamu membelinya, kamu pasti bergegas melewatkan momen ini. Penasaranmu takkan terjawab tentang gadis itu. Batinku mengoceh, cukup melenyapkan hasratku mengikuti presentasi di kelas sore nanti..
“Tom, boleh pinjam korek?”
Pertanyaan itu melenyapkan ocehan batinku. Aku langsung terpana pada sumber suara.
***
“Hujan selalu mengingatkanku pada syukur Tom. Entahlah, aku selalu menikmati momen merdu ini. Tapi aku tahu, hujan membuatmu sebal hari ini, aku dengar percakapan teleponmu tadi. Kukira kamu sudah lulus. Sebaiknya jangan lama-lama jadi mahasiswa. Sayang waktumu terbuang sia-sia. Lagi pula, aku makin sadar kalau kampus nggak lagi mengutamakan keluhuran sebagai sumur ilmu dan ladang pengetahuan,” ia berhenti sejenak, menghisap batangan rokok yang terapit di antara dua jari tangan kirinya.
 “Kampus sudah sukses jadi industri, mereka juga sukses mencetak mesin-mesin pemuja konglomerasi. Kamu pasti hafal Tri Dharma Perguruan Tinggi kan? Ya, mungkin bagi kampus, selain untuk dikhianati, slogan tentang pendidikan, penelitian dan pengabdian itu fungsinya hanyalah dihafal, tanpa realisasi,” Dewi melanjutkan gumamnya lirih, setelah mengepulkan asap rokok ke udara.
Aku terus bertindak sebagai pendengar setia. Dari dulu, dia memang seperti itu. Pesonanya selalu membuat orang di sekitarnya khidmat menyelami makna yang menyembur tutur tiap kata dari mulutnya. Mestinya kuhampiri dia tadi. Aku takut dikiranya aku sengaja menghindar dan pura-pura tidak mengenalnya. Maafkan aku Wi, batinku. Lesung pipinya saja yang kuingat. Aku sungguh tak mengenalnya kalau saja dia tak meminjam korek.
Penampilannya benar-benar tak seperti Dewi yang kukenal dulu. Padahal, hanya tiga tahun kami berpisah. Aku masih ingat suara lantangnya saat memimpin demo di depan balai kota. belum genap empat tahun silam. Orasinya kala itu menggetarkan hati dan menenangkan jiwa ratusan massa yang mulai bergelagat tak sabar. Belasan mahasiswa yang mulai memanjat pagar  hendak merangsek masuk, mengurungkan niat setelah mendengar kata demi kata dari mulut Dewi. Dari situ aku mengenalnya. Kami sempat satu organisasi, dan berkuliah di kampus sama, hanya beda fakultas.
Hubungan kami dulu sempat dekat meski belum sampai menjalin komitmen pacaran. Ah, bagaimana dia bisa hilang tak berjejak selama ini? Aku mencarimu Wi, kabarmu tak pernah sampai pada inderaku. Tak seorangpun di fakultasmu yang bisa menghantarkan pencarianku.
“Kenapa melamun Tom?”
“Maaf, hanya memikirkan sesuatu. Kamu sendiri apa kabar Wi? Sudah lulus?”
“Orang seperti aku ini nggak cocok hidup di kampus Tom. Salah satu kesalahan terbesar dalam hidupku ya yang dulu itu, sok menerobos takdir sebagai orang pinggiran, sok ikut-ikutan jadi mahasiswa. Padahal ibuk sudah pernah ingetin kalau kuliah itu mahal,” paparnya, sambil menengok langit yang tak lagi menjatuhkan butiran air sederas tadi.
“Maksudmu Wi?”
“Aku berhenti kuliah Tom, nggak ada duit.”
“Bukannya kamu dapat beasiswa?”
“Kamu seperti nggak tahu saja. Beasiswa hanya monopoli birokrat kampus yang bisa dicabut kapan saja dengan alasan yang mudah dibuat-buat. Hujan sudah reda, segera ke kampus Tom. Jangan memperlambat kelulusanmu hanya karena bolos!”
Ucapannya bagai sihir yang tak bisa ditolak. Tapi aku masih belum beranjak.
“Jangan diam saja Tom. Aku tahu ada yang belum selesai. Tapi aku juga mau pulang, ada sesuatu yang perlu dibereskan usai hujan begini. Temui aku lagi di tempat ini besok sore!”
“Biar kuantar dulu sampai rumahmu.”
“Di sini tempatku pulang Tom. Sejak ibuk meninggal dan rumah di sita Pak Kades, aku lebih sering tinggal di bekas pertokoan ini, selain di masjid-masjid. Karena tempat ini yang paling sering kusinggahi, aku perlu menguras air yang membuat lantai di dalam sana becek, pergilah!”

Komentar