Aku sadar bahwa aku bukanlah
manusia setengah dewa yang serba tahu segalanya. Pun, tentang masa lalu dan
masa depan. Konon, sejarah didokumentasikan oleh sang pemenang. Artinya,
tak ada kebenaran mutlak atas sejarah itu sendiri, termasuk sejarah masa lalumu, Guru.
Kalaupun yang dibicarakan
orang-orang mengenai sejarahmu itu benar, tentu saja kebenaran yang dikabarkan
itu sesuai sudut pandang yang mengabarkan. Begitu pula ketika kabar tersebut
datangnya dari dirimu sendiri. Bisa kupastikan bahwa yang kau katakan adalah
kebenaran dari sudut pandang yang ingin kau kabarkan.
Sialnya, aku terlalu banyak
terpengaruh oleh kebenaran yang kau kabarkan selama ini. Aku tak menafikkan,
banyak hal yang kuserap darimu. Kehadiranmu telah banyak memberi pengaruh bagiku,
dalam hal berfikir, bersikap, ataupun bertindak. Dari semua yang kupelajari,
muncul kekaguman diriku atas dirimu secara pribadi.
Aku menganggapmu sebagai
manusia setengah dewa yang tak pernah berbuat dosa. Keahlianmu dalam berbagai
hal telah menyihirku menjadi semacam hamba yang selalu tunduk pada tuhannya.
Akan tetapi aku keliru, Guru. Ada satu hal yang baru kuketahui dan membuat
persepsiku tentangmu berubah.
Benar tidaknya hal yang kuketahui tentangmu, aku belum seratus persen percaya. Bahkan, aku sempat gelisah
dan mencoba menanamkan pemahaman pada diriku sendiri bahwa kabar tersebut tidak
benar dan tidak mungkin benar. Akan tetapi, aku harus kembali pada nuraniku,
Guru.
Bukankah kau sendiri yang
mengajarkan, "Setiap berfikir, bersikap, dan bertindak, sertakanlah nurani
di dalamnya,". Begitu indah kalimatmu, Guru. Akan tetapi, aku tak yakin
kau selalu menerapkan kalimat itu di setiap kau berfikir, bersikap, dan
bertindak.
Aku harus bertanya pada siapa
untuk mengetahui kebenaran tentang kabar itu, Guru? Bertanya padamu? Jawaban
yang muncul pasti kebenaran berdasarkan sudut pandangmu, sudah aku pastikan
itu, Guru. Jadi, hanya nuraniku sendiri yang bisa menjawab pertanyaan ini. Dan
nurani kutelah menjawab.
Masih sangat kuingat, saat
kita berdiskusi berdua. Kala itu kau mengatakan, segala hal yang berlebihan itu
tidak baik, termasuk dalam bercinta. Kepadaku kau membuat pertanyaan sebagai
contoh, "Kalau seorang pria sangat mencintai pacarnya, hal apa yang dia
lakukan agar tak kehilangan wanita yang dicintainya?". Pertanyaanmu itu kujawab dengan tegas, "Si pria harus meniduri si wanita,". Lalu kau
menyimpulkan, "Nah, maka cinta yang berlebihan, juga akan berakibat tidak
baik, meskipun tujuannya baik,".
Secara umum, begitulah
perbincangan kita pada malam yang absurd itu. Dan yang masih kupertanyakan sampai kini,
Guru. Bagaimana ekspetasimu soal cinta? Kau anggap cinta itu sebuah makhluk
yang bagaimana? Tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, Guru. Aku masih belum
paham. Apakah yang kau lakukan selama ini atas dasar cinta? Bahkan secara
terang-terangan kau sendiri belum mampu memastikannya. Ku kira, cukup manusiawi
dan sangat bisa dimengerti bila yang kau lakukan itu hanya atas dasar keinginan
mencari selangkangan. Yang kembali ingin kupertanyakan, apa keinginan itu
tidak perlu diimbangi dengan tanggung jawab, Guru? Ah, aku rasa kamu mengerti
apa maksudku. Kamu bukan termasuk orang yang bakal menemui kesulitan untuk
sekadar menafsirkan apa maksud dari tulisanku ini, Guru.
Maafkan aku, Guru. Aku
sendiri tidak begitu mengerti: seharusnya aku lebih baik tahu atau tidak, soal
kabar ini. Tapi aku sudah terlanjur tahu, Guru. Meski begitu, kau telah banyak
berjasa dalam hidupku. Dan sebagai pribadi, tak mungkin aku menghapus
jasa-jasamu selama ini hanya karena satu hal yang sebenarnya bukan masalahku
sebagai pribadi.
Namun masalah itu harus
melibatkan aku dalam kondisiku yang seperti sekarang ini. Lalu bagaimana
hubungan kita? Kalau boleh aku memilih, aku tetap menganggapmu sebagai Guru.
Aku tak akan membahas lagi masa lalumu, dan aku juga tak ingin kau bahas masa
lalumu itu dihadapanku, Guru. Perlu kau ketahui, betapa sakit rasanya ketika
aku tahu soal itu.
Tetaplah seperti biasa
layaknya tak terjadi apa-apa. Anggap saja aku tak tahu soalmu, Guru. Dan jika
sikapmu terhadapku berubah, apalah daya diriku dihadapmu?
Dengan setulus hati, kembali
ku sampaikan maafku, Guru. Aku tak kuasa menyampaikan pesan ini secara langsung
padamu. Tentu, tak perlu ku jelaskan alasannya. Aku rasa kau sudah paham. Dan
aku yakin kau sendiri tak mampu membuka perbincangan denganku mengenai hal
ini. Aku rasa itu yang membuatmu menyampaikan pesan secara tersirat di beberapa
media sosial tanpa menyebutkan namaku. Tapi aku sangat paham, Guru. Pesan itu
tertuju padaku.
Semoga tulisan ini mampu
tersampaikan dengan baik, dan tidak menimbulkan masalah-masalah baru di
kemudian hari.
Salam hormatku padamu, Guru.
Komentar