Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Aku Memilih Nurani, Guru

Aku sadar bahwa aku bukanlah manusia setengah dewa yang serba tahu segalanya. Pun, tentang masa lalu dan masa depan. Konon, sejarah didokumentasikan oleh sang pemenang. Artinya, tak ada kebenaran mutlak atas sejarah itu sendiri, termasuk sejarah masa lalumu, Guru.

Kalaupun yang dibicarakan orang-orang mengenai sejarahmu itu benar, tentu saja kebenaran yang dikabarkan itu sesuai sudut pandang yang mengabarkan. Begitu pula ketika kabar tersebut datangnya dari dirimu sendiri. Bisa kupastikan bahwa yang kau katakan adalah kebenaran dari sudut pandang yang ingin kau kabarkan.

Sialnya, aku terlalu banyak terpengaruh oleh kebenaran yang kau kabarkan selama ini. Aku tak menafikkan, banyak hal yang kuserap darimu. Kehadiranmu telah banyak memberi pengaruh bagiku, dalam hal berfikir, bersikap, ataupun bertindak. Dari semua yang kupelajari, muncul kekaguman diriku atas dirimu secara pribadi.

Aku menganggapmu sebagai manusia setengah dewa yang tak pernah berbuat dosa. Keahlianmu dalam berbagai hal telah menyihirku menjadi semacam hamba yang selalu tunduk pada tuhannya. Akan tetapi aku keliru, Guru. Ada satu hal yang baru kuketahui dan membuat persepsiku tentangmu berubah.

Benar tidaknya hal yang kuketahui tentangmu, aku belum seratus persen percaya. Bahkan, aku sempat gelisah dan mencoba menanamkan pemahaman pada diriku sendiri bahwa kabar tersebut tidak benar dan tidak mungkin benar. Akan tetapi, aku harus kembali pada nuraniku, Guru.

Bukankah kau sendiri yang mengajarkan, "Setiap berfikir, bersikap, dan bertindak, sertakanlah nurani di dalamnya,". Begitu indah kalimatmu, Guru. Akan tetapi, aku tak yakin kau selalu menerapkan kalimat itu di setiap kau berfikir, bersikap, dan bertindak.

Aku harus bertanya pada siapa untuk mengetahui kebenaran tentang kabar itu, Guru? Bertanya padamu? Jawaban yang muncul pasti kebenaran berdasarkan sudut pandangmu, sudah aku pastikan itu, Guru. Jadi, hanya nuraniku sendiri yang bisa menjawab pertanyaan ini. Dan nurani kutelah menjawab.

Masih sangat kuingat, saat kita berdiskusi berdua. Kala itu kau mengatakan, segala hal yang berlebihan itu tidak baik, termasuk dalam bercinta. Kepadaku kau membuat pertanyaan sebagai contoh, "Kalau seorang pria sangat mencintai pacarnya, hal apa yang dia lakukan agar tak kehilangan wanita yang dicintainya?". Pertanyaanmu itu kujawab dengan tegas, "Si pria harus meniduri si wanita,". Lalu kau menyimpulkan, "Nah, maka cinta yang berlebihan, juga akan berakibat tidak baik, meskipun tujuannya baik,".

Secara umum, begitulah perbincangan kita pada malam yang absurd itu. Dan yang masih kupertanyakan sampai kini, Guru. Bagaimana ekspetasimu soal cinta? Kau anggap cinta itu sebuah makhluk yang bagaimana? Tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, Guru. Aku masih belum paham. Apakah yang kau lakukan selama ini atas dasar cinta? Bahkan secara terang-terangan kau sendiri belum mampu memastikannya. Ku kira, cukup manusiawi dan sangat bisa dimengerti bila yang kau lakukan itu hanya atas dasar keinginan mencari selangkangan. Yang kembali ingin kupertanyakan, apa keinginan itu tidak perlu diimbangi dengan tanggung jawab, Guru? Ah, aku rasa kamu mengerti apa maksudku. Kamu bukan termasuk orang yang bakal menemui kesulitan untuk sekadar menafsirkan apa maksud dari tulisanku ini, Guru.

Maafkan aku, Guru. Aku sendiri tidak begitu mengerti: seharusnya aku lebih baik tahu atau tidak, soal kabar ini. Tapi aku sudah terlanjur tahu, Guru. Meski begitu, kau telah banyak berjasa dalam hidupku. Dan sebagai pribadi, tak mungkin aku menghapus jasa-jasamu selama ini hanya karena satu hal yang sebenarnya bukan masalahku sebagai pribadi.

Namun masalah itu harus melibatkan aku dalam kondisiku yang seperti sekarang ini. Lalu bagaimana hubungan kita? Kalau boleh aku memilih, aku tetap menganggapmu sebagai Guru. Aku tak akan membahas lagi masa lalumu, dan aku juga tak ingin kau bahas masa lalumu itu dihadapanku, Guru. Perlu kau ketahui, betapa sakit rasanya ketika aku tahu soal itu.

Tetaplah seperti biasa layaknya tak terjadi apa-apa. Anggap saja aku tak tahu soalmu, Guru. Dan jika sikapmu terhadapku berubah, apalah daya diriku dihadapmu?

Dengan setulus hati, kembali ku sampaikan maafku, Guru. Aku tak kuasa menyampaikan pesan ini secara langsung padamu. Tentu, tak perlu ku jelaskan alasannya. Aku rasa kau sudah paham. Dan aku yakin kau sendiri tak mampu membuka perbincangan denganku mengenai hal ini. Aku rasa itu yang membuatmu menyampaikan pesan secara tersirat di beberapa media sosial tanpa menyebutkan namaku. Tapi aku sangat paham, Guru. Pesan itu tertuju padaku.

Semoga tulisan ini mampu tersampaikan dengan baik, dan tidak menimbulkan masalah-masalah baru di kemudian hari.

Salam hormatku padamu, Guru.

Komentar