![]() |
| ilustrasi (intelejen.co.id) |
Siang tadi, aku melihat hal-hal yang menjijikkan. Bagiku, lebih menjijikkan ketimbang seonggok tai kucing, atau sekantung plastik berisi muntah penumpang bus. Hal-hal menjijikkan ini mengkritisi hal-hal yang menurut mereka menjijikkan.
Bukan. Kurasa menurut mereka tidak menjijikkan. Hanya seolah-olah mereka berkata menjijikkan agar orang-orang mengira mereka jijik akan hal yang dianggap menjijikkan.
"Tolak pornoaksi!! Tutup tempat hiburan yang menyediakan penari striptis!! Haram!! Bikin najis kota ini!!" Begitu teriakan demi teriakan yang tercetus dari mulut dan poster yang mereka bawa.
Ya, ini tentang isu penari striptis yang menjamur di sejumlah tempat hiburan dan terekspose media massa akhir-akhir ini. Bukan aku sok suci. Bukan aku mendukung keberadaan penari striptis. Hanya saja, bagiku adalah sebuah ironi saat ada yang mengecam hal tersebut, menyumpah-serapahkan penari striptis tapi..... Ah aku tak habis pikir.
Aku kenal mereka. Aku dekat dengan beberapa orang yang mengaku jijik. "Tutup tempat hiburan!! Hilangkan budaya miras!!" Ya, aku kenal baik dengan beberapa orang yang berteriak tadi siang.
Ironis, orang yang aku kenal ini tidak jujur antara teriakkan dan tingkah laku kesehariannya. Beberapa temanku itu, adalah temanku mabuk dulu. Mereka doyan karaoke di tempat yang mereka tuduh menyediakan jasa penari striptis. Meski aku tak tahu mereka pernah menyewa penari striptis atau tidak.
Dari pemberitaan di sejumlah media massa, yang aku tahu penari striptis ini disewa berdasarkan tawar menawar antara pengunjung dan purel. Jika punya uang, maka sang purel bersedia menari striptis. Sejauh pengetahuanku, mereka hanya pernah menyewa purel. Untuk negosiasi lebih lanjut? Aku belum berani berkata iya karena aku tak yakin mereka mampu membayar dengan harga mahal.
Dan yang yang lebih memprihatinkan, protes ini menjadi ganjil karena begitu tampak terskenario. Usai mendatangi sarang legislatif mereka bergerak menuju sarang eksekutif. Di sarang legislatif, tak ada gejolak berarti.
Beberapa orang yang keluar dari sarang itu menemui mereka. Berucap satu dua patah kata yang intinya mendukung tuntutan mereka. "Kami mendukung tuntutan kalian. Secepatnya kami desak eksekutif segera melakukan tindakan," janji orang itu di hadapan mereka.
Selembar tulisan yang dibawa pun ditandatangani dengan cepat, tanpa negosiasi alot, oleh orang yang keluar dari sarang legislatif. Ngomong-ngomong soal sarang legislatif, aku juga kenal beberapa. Aku juga tahu ada beberapa orang di sarang itu yang hoby karaoke dan menyewa purel. Kalau yang ini, aku yakin mereka tak ada masalah untuk menyewa penari striptis jika ingin.
Aduh, melebar. Lanjut, kembali pada mereka yang melakukan protes. Di depan sarang legislatif, awalnya biasa saja. Namun tiba-tiba ketertiban lenyap ketika mereka merapatkan barisan karena tak berhasil menemui orang di sarang eksekutif. Perwakilan eksekutif yang keluar dari sarang tidak bisa menghadirkan orang yang ingin mereka temui.
"Kita ini mahasiswa. Kalau kita menyampaikan aspirasi dan tidak digubris maka kita dianggap seperti binatang," ucap salah satu mereka. "Mari kawan kita rapatkan barisan, terobos blokade polisi," lanjutnya.
Mereka bergerak merapat ke blokade polisi. Seorang polisi mendorong mereka. Mereka tak terima dan baku hantam terjadi beberapa menit sebelum kembali reda. Tak lama kemudian mereka bergerak ke sisi lain menuju pagar tembok dan memanjat tembok hingga sampai di halaman sarang eksekutif.
Di halaman itu, mereka kembali berorasi. Berteriak jijik pada hal yang sebenarnya mereka senangi. Lagi-lagi ini memprihatinkan. Mereka bagai pelacur yang menggunakan lipstik dan kosmetik agar terlihat cantik. Ah, aku rasa tak cukup lipstik dan kosmetik. Mereka memakai topeng agar terlihat tampan untuk menutupi wajah buruknya.
Lalu apa yang membuat mereka memakai topeng? Kepentingan apa yang melandasinya? Entahlah, lagi pula sudah menjadi rahasia umum kalau hal-hal yang menjijikkan ini selalu ada kepentingan yang ujung-ujungnya rupiah untuk mengganjal perut. Ah, lagi-lagi perut disalahkan, kasihan sekali.
(Di suatu tempat yang bukan Indonesia, 18 September 2014)

Komentar