Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Sebuah Upaya Membeli Ayah


Ada hasil yang terus menyisakan ingin. Ada ingin yang tak kunjung membuahkan hasil. Rasa-rasanya, kehidupan tak pernah lepas dari dua rumus itu. Hasrat manusiawi menuangkan kemudahan dan rintangan yang memadukan keduanya pada siklus ketidakpuasan.
***
Pangkal kepala Tatik selalu terasa berat ketika Laras menagih permintaan yang sejak kemarin diulang-ulang entah sudah berapa kali. Pikirannya seakan digerogoti jamur di musim penghujan. Rapuh. Hanya kebuntuan yang senantiasa menggerayangi alunan nalarnya. Anak semata-wayangnya itu tak henti-hentinya minta dibelikan seorang ayah. Sungguh permintaan yang membuat Tatik bagai menyaksikan belatung tiap kali dihadapkan sepiring nasi beserta lauk pauknya.
Sejak lahir hingga sekarang usia Laras memasuki lima tahun, ia selalu mampu menuruti segala permintaan buah hatinya. Hidup seorang diri dalam keseharian tak membuatnya kekurangan. Rumah megah dan halaman luas, sudah lebih dari cukup untuk Tatik dan anaknya bermukim. Dengan pekerjaan yang tak terlalu menyibukkan, wanita berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu itu mampu mengurus Laras seorang diri, tanpa menyewa pembantu. Tumbuhlah Laras sebagai bocah manja. Jajanan, mainan, dan segala fasilitas yang diminta Laras selalu terpenuhi.
Itu dulu. Ketika jamur-jamur musim penghujan belum merongrong isi kepalanya. Saat rumus menyelami papan catur kehidupan masih digenggamnya. Rumus yang awalnya ia kira tak bakal memerlukan pembaharuan. Rumus yang seolah menjelma jimat atas segala prahara. Namun, rupanya tabungan dan gelimang harta yang dimilikinya seakan tak bernilai, tak berguna untuk mememenuhi permintaan Laras kali ini. Rumus itu semu pula rupanya.
“Kapan Ma? Laras ingin seperti Doni dan teman-teman lain. Mama mereka baik, mau membelikan ayah.”
“Nanti Laras akan punya ayah.”
“Asiiik, nanti sore Ma? Kita beli ayah di mana?”
“Iya nanti sore. Sekarang kamu nonton TV saja dulu, atau main dengan Elga yang baru dibeli saat kita jalan-jalan ke toko boneka kemarin.”
***
Dulu, ketika masih sekolah, Tatik sering mendapat teguran dari sang ibu, tiap kali pulang larut malam.
“Aku mengerjakan tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok, Bu. Tak perlu khawatir, toh ada Lisa dan Ririn yang bisa Ibu hubungi kalau ponselku mati,” begitu selalu yang dikatakannya, menjawab teguran ibu.
Alasan itu tak mendapat bantahan. Apalagi, Tatik selama ini mampu membuktikan hasil keuletannya mengerjakan tugas dan belajar. Sejak mengenakan seragam putih abu-abu, Tatik tak pernah keluar dari deretan lima besar siswa terpandai di kelas. Ibunya selalu menegakkan kepala tatkala mengambil rapor Tatik.
Nyaris tiada lagi pertanyaan dan teguran muncul dari bibir ibu, saat beberapa kali Tatik kembali pulang berbarengan dengan berangkatnya kelelawar mencari makan. Namun, pada suatu ketika, Tatik sempat digigit gelisah. Rembulan yang sedikit tertutup awan mampu mengintip ketakutan pada raut mukanya. Sorotnya mengandung resah, seakan berkata jangan sampai ibu menaruh curiga, manakala kepulangannya malam itu diantar mobil mewah. Lebih-lebih, pria yang ada di balik kaca mobil bukanlah muka-muka  asing bagi ibu dan penduduk sekitar. Untung saja ia tak kurang akal. Dikatakannya seucap kalimat setelah menghela nafas dalam-dalam, sembari berpikir sejenak.
“Om Rudi ini ayahnya temanku bu. Aku sudah bilang bisa pulang sendiri, tapi Om Rudi tidak tega melihatku pulang tanpa kawan semalam ini,” cetus Tatik sekenanya, sambil berlalu.
Sandiwara Tatik cukup meyakinkan ibunya, hingga pada suatu pagi, beberapa pekan setelahnya, sang ibu mendapati perut anaknya makin membuncit. Tatik tak mampu berkelit. Kepalanya tertunduk lesu, kedua bola matanya tak kuasa menahan tangis yang segera tumpah, manakala pipi mulusnya menerima tamparan tangan kiri ibu.
“Ibu memang tak mampu memberimu uang saku sebanyak uang yang didapat teman-temanmu dari orang tuanya. Tapi ibu tak pernah sekalipun mengajarkanmu mencari uang dengan cara hina seperti ini, Nak. Sejak bapakmu meninggal, ibu berusaha banting tulang sendirian, membiayai sekolah dan kehidupanmu selama ini, ibu bekerja dengan halal Nak!” kucuran air mata mengiringi rintihan ibu yang menyelimuti udara rumah sederhana, di atas tanah sepetak itu.
Tatik membeku, mengabaikan mentari yang mulai beranjak menuju puncak langit. Hanya satu nama yang ada dipikirnya ketika ibu memintanya meninggalkan rumah untuk selamanya. Om Rudi, pria yang harus menanggung ini, batinnya. Tanpa berkemas, ia melangkah ringkih bersama segenggam ponsel yang kemudian digunakannya menghubungi om Rudi. Tatik pergi. Meninggalkan rumah, meninggalkan ibu, meninggalkan sekolah dan teman-temannya, menghapus keseharian dan menyulam keseharian baru.
***
Meski sudah berlalu bertahun-tahun, ingatan akan kejadian itu terus menikam kepala Tatik. Dulu, ia mengira kehidupan bisa berjalan mudah setelah Om Rudi bersedia menanggung segala kebutuhannya. Sejak berpisah dengan ibunya, Tatik hidup foya-foya. Rumah megah yang ia tempati sekarang merupakan pemberian Om Rudi.
“Aku hanya bisa menikahimu secara siri. Asal perbuatan kita selama ini tak kau laporkan kepada anak dan istriku, semua bisa kupenuhi, termasuk biaya pendidikan dan kehidupan janin di kandunganmu hingga ia dewasa kelak,” ucap Om Rudi kala itu.
Sejak saat itu, bisa kapan saja menggesekkan sepotong kartu sambil menekan beberapa tombol pada sebuah mesin yang mampu memuntahkan lembaran-lembaran fana. Dulu ia berpikir, Andi memiliki banyak teman di sekolah dan hidup bahagia karena ia anak orang kaya. Dulu ia berpikir, kebahagiaan bisa dirasakan ketika ada uang tersedia untuk melampiaskan sebentuk keinginan. Dulu ia berpikir, segalanya bisa terbeli asal memiliki uang. Tapi semua yang ia pikir itu mentah oleh sebuah permintaan yang sebelumnya tak pernah dipikirkannya, uang tak mampu membeli ayah.
Tatik merindukan ibunya yang tak pernah ia temui lagi. Ia ingin mengelupaskan resahnya. Ia ingin menerima tamparan keras dari tangan kiri ibu, seperti yang pernah mendarat pada pipinya dulu. Ia ingin tamparan itu lebih keras, agar menghadirkan kenyataan sesungguhnya bahwa ia sakit dan terus menyakiti diri. Bahwa ia bodoh dan terus membodohi diri. Bahwa ia lalai dan terus melalaikan diri. Bahwa ia tak sadar dan tak kunjung menyadari ketidaksadarannya.
Om Rudi yang biasanya masih sering berkunjung ketika si bocah terlelap, kini terkesan menghindar sejak Tatik menceritakan permintaan Laras.
“Mestinya kamu sadar posisimu. Mana mungkin aku mengakui Laras. Kau hanya simpanan, dan aku sudah memenuhi inginmu selama ini, bahkan memberi lebih dari kebutuhanmu sehari-hari. Apa kata orang-orang di luar sana jika mereka semua tahu apa yang kusembunyian selama ini? Jabatanku bisa terancam!” pekik Om Rudi, sebelum akhirnya pagi menelannya bersama malam, dan belum berkunjung lagi hingga saat ini.
Tatik makin dirundung pilu, tiap hari anaknya mengajukan permintaan serupa. Sesal makin membuncah di benaknya. Terlebih, ketika akhir-akhir ini permintaan Laras makin tak bisa dicegah rengeknya. Bocah manis itu mulai kerap meluapkan tangis ketika Tatik kembali menghadirkan janji-janji dan berupaya mengalihkan pembicaran. Seorang ayah belum jua terbeli untuk Laras.
Hari ini, tepat sepekan sejak kali pertama keinginan tercetus, Laras merajuk tak terbendung. Ia mengurung diri di kamar seharian. Tatik makin kalut setelah anaknya enggan menelurkan sepatah kata pun. Sejak pagi, berbagai makanan yang disediakan juga tak tersentuh, bahkan ketika Tatik memaksa menyuapkan nasi pada bibir gadis ciliknya. Hanya tangis yang menyambut, sampai akhirnya Laras pingsan dan harus dilarikan di rumah sakit.
***

“Aku ingin ayah, Ma,” kalimat itu kembali muncul seketika Laras membuka matanya, kali ini permintaan itu terbata-bata.
Semalam sudah Laras menginap di rumah sakit, namun bujukan Tatik agar anaknya mau makan tak juga berhasil. Laras pun enggan berbicara, kecuali kalimat itu saja yang muncul dari bibirnya, lirih. Hari demi hari berlalu, kondisi gadis mungil itu makin mengenaskan tatkala dokter memasukkan selang melalui rongga mulut agar makanan bisa masuk, setidaknya membantu Laras bertahan hidup. Desir angin bersama sinar mentari pagi yang masuk melalui celah jendela tak mampu memperbaiki suasana jiwa dan raga Tatik yang makin tak mengerti harus berbuat apa.
“Ma….”
Rintih Laras yang terdengar samar di telinga Tatik, sempat membuat sinar kedua matanya memancar sumringah, sebelum akhirnya kembali layu ketika ia mendapati permintaan itu lagi.
“Laras bisa mendapat ayah setelah ini. Mari bersama mama, kamu bisa melihatnya sekarang. Ayah sudah menunggu di luar sana,” cetus Tatik sambil meraih anaknya untuk digendong kemudian, bersama selang dan botol makanannya menuju jendela.
“Itu ayah. Laras bisa melihatnya?” dari balik jendela ruangan yang terletak di lantai 8 rumah sakit itu, Tatik mengarahkan telunjuk pada jalanan yang tampak riuh.
“Terlalu jauh Ma. Mengapa ayah tidak kemari?”
“Kita yang akan ke sana, Laras. Kamu siap bertemu ayah?”
“Tentu saja Ma, Laras senang sekali akhirnya Mama membelikan ayah untuk Laras.”
Braakkk!!
Cairan merah tumpah. Laki-perempuan berkerumun. Orang-orang berseragam berdatangan disusul pita kuning yang melingkar panjang. Tak lama kemudian bunyi alarm bertalu-talu mengikuti mobil putih dan beberapa mobil yang berisi orang-orang berseragam, melesat membelah jalanan, dan akhirnya hilang ditelan sunyi.



*pernah dimuat di MalangVoice

Komentar