Ada hasil yang terus menyisakan ingin. Ada
ingin yang tak kunjung membuahkan hasil. Rasa-rasanya, kehidupan tak pernah
lepas dari dua rumus itu. Hasrat manusiawi menuangkan kemudahan dan rintangan
yang memadukan keduanya pada siklus ketidakpuasan.
***
Pangkal kepala Tatik selalu terasa berat
ketika Laras menagih permintaan yang sejak kemarin diulang-ulang entah sudah
berapa kali. Pikirannya seakan digerogoti jamur di musim penghujan. Rapuh.
Hanya kebuntuan yang senantiasa menggerayangi alunan nalarnya. Anak
semata-wayangnya itu tak henti-hentinya minta dibelikan seorang ayah. Sungguh
permintaan yang membuat Tatik bagai menyaksikan belatung tiap kali dihadapkan
sepiring nasi beserta lauk pauknya.
Sejak lahir hingga sekarang usia Laras memasuki
lima tahun, ia selalu mampu menuruti segala permintaan buah hatinya. Hidup
seorang diri dalam keseharian tak membuatnya kekurangan. Rumah megah dan
halaman luas, sudah lebih dari cukup untuk Tatik dan anaknya bermukim. Dengan
pekerjaan yang tak terlalu menyibukkan, wanita berkulit kuning langsat dengan
rambut sebahu itu mampu mengurus Laras seorang diri, tanpa menyewa pembantu. Tumbuhlah
Laras sebagai bocah manja. Jajanan, mainan, dan segala fasilitas yang diminta
Laras selalu terpenuhi.
Itu dulu. Ketika jamur-jamur musim
penghujan belum merongrong isi kepalanya. Saat rumus menyelami papan catur
kehidupan masih digenggamnya. Rumus yang awalnya ia kira tak bakal memerlukan
pembaharuan. Rumus yang seolah menjelma jimat atas segala prahara. Namun,
rupanya tabungan dan gelimang harta yang dimilikinya seakan tak bernilai, tak
berguna untuk mememenuhi permintaan Laras kali ini. Rumus itu semu pula
rupanya.
“Kapan Ma? Laras ingin seperti Doni dan
teman-teman lain. Mama mereka baik, mau membelikan ayah.”
“Nanti Laras akan punya ayah.”
“Asiiik, nanti sore Ma? Kita beli ayah di
mana?”
“Iya nanti sore. Sekarang kamu nonton TV
saja dulu, atau main dengan Elga yang baru dibeli saat kita jalan-jalan ke toko
boneka kemarin.”
***
Dulu, ketika masih sekolah, Tatik sering mendapat
teguran dari sang ibu, tiap kali pulang larut malam.
“Aku mengerjakan tugas kelompok yang harus
dikumpulkan besok, Bu. Tak perlu khawatir, toh ada Lisa dan Ririn yang bisa Ibu
hubungi kalau ponselku mati,” begitu selalu yang dikatakannya, menjawab teguran
ibu.
Alasan itu tak mendapat bantahan. Apalagi,
Tatik selama ini mampu membuktikan hasil keuletannya mengerjakan tugas dan
belajar. Sejak mengenakan seragam putih abu-abu, Tatik tak pernah keluar dari
deretan lima besar siswa terpandai di kelas. Ibunya selalu menegakkan kepala
tatkala mengambil rapor Tatik.
Nyaris tiada lagi pertanyaan dan teguran
muncul dari bibir ibu, saat beberapa kali Tatik kembali pulang berbarengan
dengan berangkatnya kelelawar mencari makan. Namun, pada suatu ketika, Tatik
sempat digigit gelisah. Rembulan yang sedikit tertutup awan mampu mengintip
ketakutan pada raut mukanya. Sorotnya mengandung resah, seakan berkata jangan
sampai ibu menaruh curiga, manakala kepulangannya malam itu diantar mobil
mewah. Lebih-lebih, pria yang ada di balik kaca mobil bukanlah muka-muka asing bagi ibu dan penduduk sekitar. Untung
saja ia tak kurang akal. Dikatakannya seucap kalimat setelah menghela nafas dalam-dalam,
sembari berpikir sejenak.
“Om Rudi ini ayahnya temanku bu. Aku sudah bilang
bisa pulang sendiri, tapi Om Rudi tidak tega melihatku pulang tanpa kawan
semalam ini,” cetus Tatik sekenanya, sambil berlalu.
Sandiwara Tatik cukup meyakinkan ibunya, hingga
pada suatu pagi, beberapa pekan setelahnya, sang ibu mendapati perut anaknya
makin membuncit. Tatik tak mampu berkelit. Kepalanya tertunduk lesu, kedua bola
matanya tak kuasa menahan tangis yang segera tumpah, manakala pipi mulusnya
menerima tamparan tangan kiri ibu.
“Ibu memang tak mampu memberimu uang saku
sebanyak uang yang didapat teman-temanmu dari orang tuanya. Tapi ibu tak pernah
sekalipun mengajarkanmu mencari uang dengan cara hina seperti ini, Nak. Sejak
bapakmu meninggal, ibu berusaha banting tulang sendirian, membiayai sekolah dan
kehidupanmu selama ini, ibu bekerja dengan halal Nak!” kucuran air mata
mengiringi rintihan ibu yang menyelimuti udara rumah sederhana, di atas tanah
sepetak itu.
Tatik membeku, mengabaikan mentari yang
mulai beranjak menuju puncak langit. Hanya satu nama yang ada dipikirnya ketika
ibu memintanya meninggalkan rumah untuk selamanya. Om Rudi, pria yang harus
menanggung ini, batinnya. Tanpa berkemas, ia melangkah ringkih bersama
segenggam ponsel yang kemudian digunakannya menghubungi om Rudi. Tatik pergi.
Meninggalkan rumah, meninggalkan ibu, meninggalkan sekolah dan teman-temannya,
menghapus keseharian dan menyulam keseharian baru.
***
Meski sudah berlalu bertahun-tahun, ingatan
akan kejadian itu terus menikam kepala Tatik. Dulu, ia mengira kehidupan bisa
berjalan mudah setelah Om Rudi bersedia menanggung segala kebutuhannya. Sejak
berpisah dengan ibunya, Tatik hidup foya-foya. Rumah megah yang ia tempati
sekarang merupakan pemberian Om Rudi.
“Aku hanya bisa menikahimu secara siri.
Asal perbuatan kita selama ini tak kau laporkan kepada anak dan istriku, semua
bisa kupenuhi, termasuk biaya pendidikan dan kehidupan janin di kandunganmu
hingga ia dewasa kelak,” ucap Om Rudi kala itu.
Sejak saat itu, bisa kapan saja
menggesekkan sepotong kartu sambil menekan beberapa tombol pada sebuah mesin
yang mampu memuntahkan lembaran-lembaran fana. Dulu ia berpikir, Andi memiliki
banyak teman di sekolah dan hidup bahagia karena ia anak orang kaya. Dulu ia
berpikir, kebahagiaan bisa dirasakan ketika ada uang tersedia untuk
melampiaskan sebentuk keinginan. Dulu ia berpikir, segalanya bisa terbeli asal
memiliki uang. Tapi semua yang ia pikir itu mentah oleh sebuah permintaan yang
sebelumnya tak pernah dipikirkannya, uang tak mampu membeli ayah.
Tatik merindukan ibunya yang tak pernah ia
temui lagi. Ia ingin mengelupaskan resahnya. Ia ingin menerima tamparan keras
dari tangan kiri ibu, seperti yang pernah mendarat pada pipinya dulu. Ia ingin
tamparan itu lebih keras, agar menghadirkan kenyataan sesungguhnya bahwa ia
sakit dan terus menyakiti diri. Bahwa ia bodoh dan terus membodohi diri. Bahwa
ia lalai dan terus melalaikan diri. Bahwa ia tak sadar dan tak kunjung
menyadari ketidaksadarannya.
Om Rudi yang biasanya masih sering
berkunjung ketika si bocah terlelap, kini terkesan menghindar sejak Tatik
menceritakan permintaan Laras.
“Mestinya kamu sadar posisimu. Mana mungkin
aku mengakui Laras. Kau hanya simpanan, dan aku sudah memenuhi inginmu selama
ini, bahkan memberi lebih dari kebutuhanmu sehari-hari. Apa kata orang-orang di
luar sana jika mereka semua tahu apa yang kusembunyian selama ini? Jabatanku
bisa terancam!” pekik Om Rudi, sebelum akhirnya pagi menelannya bersama malam,
dan belum berkunjung lagi hingga saat ini.
Tatik makin dirundung pilu, tiap hari anaknya
mengajukan permintaan serupa. Sesal makin membuncah di benaknya. Terlebih,
ketika akhir-akhir ini permintaan Laras makin tak bisa dicegah rengeknya. Bocah
manis itu mulai kerap meluapkan tangis ketika Tatik kembali menghadirkan
janji-janji dan berupaya mengalihkan pembicaran. Seorang ayah belum jua terbeli
untuk Laras.
Hari ini, tepat sepekan sejak kali pertama
keinginan tercetus, Laras merajuk tak terbendung. Ia mengurung diri di kamar
seharian. Tatik makin kalut setelah anaknya enggan menelurkan sepatah kata pun.
Sejak pagi, berbagai makanan yang disediakan juga tak tersentuh, bahkan ketika
Tatik memaksa menyuapkan nasi pada bibir gadis ciliknya. Hanya tangis yang
menyambut, sampai akhirnya Laras pingsan dan harus dilarikan di rumah sakit.
***
“Aku ingin ayah, Ma,” kalimat itu kembali
muncul seketika Laras membuka matanya, kali ini permintaan itu terbata-bata.
Semalam sudah Laras menginap di rumah
sakit, namun bujukan Tatik agar anaknya mau makan tak juga berhasil. Laras pun
enggan berbicara, kecuali kalimat itu saja yang muncul dari bibirnya, lirih.
Hari demi hari berlalu, kondisi gadis mungil itu makin mengenaskan tatkala
dokter memasukkan selang melalui rongga mulut agar makanan bisa masuk,
setidaknya membantu Laras bertahan hidup. Desir angin bersama sinar mentari
pagi yang masuk melalui celah jendela tak mampu memperbaiki suasana jiwa dan
raga Tatik yang makin tak mengerti harus berbuat apa.
“Ma….”
Rintih Laras yang terdengar samar di
telinga Tatik, sempat membuat sinar kedua matanya memancar sumringah, sebelum
akhirnya kembali layu ketika ia mendapati permintaan itu lagi.
“Laras bisa mendapat ayah setelah ini. Mari
bersama mama, kamu bisa melihatnya sekarang. Ayah sudah menunggu di luar sana,”
cetus Tatik sambil meraih anaknya untuk digendong kemudian, bersama selang dan
botol makanannya menuju jendela.
“Itu ayah. Laras bisa melihatnya?” dari
balik jendela ruangan yang terletak di lantai 8 rumah sakit itu, Tatik
mengarahkan telunjuk pada jalanan yang tampak riuh.
“Terlalu jauh Ma. Mengapa ayah tidak
kemari?”
“Kita yang akan ke sana, Laras. Kamu siap
bertemu ayah?”
“Tentu saja Ma, Laras senang sekali
akhirnya Mama membelikan ayah untuk Laras.”
Braakkk!!
Cairan merah tumpah. Laki-perempuan
berkerumun. Orang-orang berseragam berdatangan disusul pita kuning yang
melingkar panjang. Tak lama kemudian bunyi alarm bertalu-talu mengikuti mobil
putih dan beberapa mobil yang berisi orang-orang berseragam, melesat membelah
jalanan, dan akhirnya hilang ditelan sunyi.
*pernah dimuat di MalangVoice
Komentar