Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Obral Paras Cucu yang Gemas Demi Elektabilitas


Warga Dusun Indiana Raya tengah gegap-gempita. Hari-hari di tiap gang padat penduduk, pos kamling, persawahan, pasar-pasar hingga wilayah pinggiran dusun senantiasa dilalui dengan kesibukan. Mereka begitu antusias menjaga kemeriahan dusun.

Itu semua tidak lain untuk menyambut berlangsungnya Pemilihan Kepala Dusun (Pikun) yang dilaksanakan tahun ini. Antusiasme itu mengalir bagai gelombang samudera. Dan Gelombang demi gelombang terus bergejolak indah, yang ujung dan pangkal muaranya adalah Pikun, dan selalu dikaitkan dengan Pikun.

Sebagai putra daerah asli Dusun Indiana Raya, aku bangga dengan nuansa itu, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu ikut berenang dalam lautan hiruk pikuknya. Alasannya sederhana, aku tidak pandai berenang dan takut tenggelam.

Tapi aku diam-diam menyerah pada ketidakmampuan untuk tidak menceburkan diri, sehingga akhirnya ikut hanyut dan mengamati yang terjadi. Kemeriahan demi kemeriahan berlangsung tidak hanya di dalam keseharian warga, tetapi juga tersaji melalui perbincangan di ruang publik dan media-media, bahkan dalam alam pikiran setiap warga.

Tahun ini, hanya ada dua Calon Kepala Dusun (Cakun) yang berebut tahta. Cakun pertama bernama Pak Jho Kuwi, yang berstatus sebagai petahana. Sedangkan Cakun satu lagi adalah Pak Pra Joyo, yang sudah berpengalaman tiga kali ikut Pikun dengan pasangan berbeda-beda, dan belum kapok kalah.

Di Dusun Indiana Raya, sudah menjadi tradisi bahwa perhelatan Pikun senantiasa meninggalkan kesan meriah. Maka aku masih ingat dinamika yang terjadi pada setiap pikun. Sebabnya adalah Pikun selalu diberitakan secara masif, mengambil porsi terbesar di media. Sehingga membuat semua orang tertuju pada Pikun, lupa urusan keluarganya di rumah, lupa utang ke tetangga yang belum lunas, lupa kalau usia sudah tua tapi belum nikah juga, dan lupa yang lain lain lagi.

Dibandingkan periode-periode sebelumnya, Pikun kali ini terlihat lebih sengit. Pasalnya, berbagai survei yang dilakukan sukarelawan dusun menyebut bahwa perbedaan elektabilitas kedua Cakun sangat tipis. Padahal, dalam Pikun kali ini Cakun Petahana ikut bertarung, berbeda dengan periode sebelum ini yang tidak diikuti Cakun Petahana.

Sedangkan dari pengalaman dua periode sebelum ini, Cakun Petahana yang bernama Pak Sudiro Bilang Yowisgitu bisa dikatakan menang telak. Saat itu, Pak Sudiro Bilang Yowisgitu ditantang dua pasangan kandidat lain. Aturan mainnya, para Cakun harus mendapatkan lebih dari 50 persen suara untuk ditetapkan sebagai pemenang.

Jika tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi 50 persen, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh warga Indiana Raya di putaran kedua.

Sebagai Cakun Petahana, Pak Sudiro Bilang Yowisgitu bahkan sudah bisa memprediksi kemenangannya sejak masa kampanye dengan penuh percaya diri. Aku masih ingat betul, Pak Sudiro Bilang Yowisgitu banyak nongol di TV dan menyatakan: "Pikun Cukup Satu Putaran!"

Secara semiotik, Pak Sudiro Bilang Yowisgitu ingin menyampaikan pesan kepada para penantangnya: "Woy, gua bisa menang satu putaran! Kagak perlu repot-repot bikin putaran kedua, ngabisin duit kas Dusun Indiana Raya bro! Lu simpen aja duit kampanye lu!"

Namun, pada Pikun kali ini Cakun Petahana belum yakin sepenuhnya bisa menang. Pak Jho Kuwi masih berkampanye dengan nuansa psikologi takut kalah. Beribu cara ditempuh untuk mendongkrak elektabilitas untuk menarik perhatian penduduk Dusun Indiana Raya.

Pak Jho Kuwi bahkan merasa perlu mengajak cucunya yang sangat menggemaskan itu untuk sering nongol di TV.  Memang bukan dalam rangka kampanye, tapi tujuannya terang benderang tak lain untuk mendongkrak elektabilitas.

Aura menggemaskan si cucu diobral untuk menciptakan panorama bahwa Pak Jho Kuwi berhasil menciptakan kebahagiaan bagi keluarganya. Dari aura itu pula, diharapkan muncul kesimpulan di alam bawah sadar warga Dusun Indiana Raya: "Ini lho gue berhasil pimpin rumah tangga, keluarga gue ceria, gue pasti bisa bikin warga Dusun Indiana Raya ikut ceria."

Apalagi, di sisi lain Pak Pra Joyo sebagai penantang, tidak banyak mengumbar romantisme keluarga. Pak Pra Joyo bahkan diketahui berpisah dari istrinya sejak bertahun-tahun silam, dan tidak terlalu memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai urusan pribadinya.

Namun, bagiku, urusan pimpin Dusun Indiana Raya tidak ada hubungannya dengan pimpin keluarga. Urusan keluarga adalah hal pribadi, sedangkan memimpin dusun adalah urusan publik. Mungkin pertimbangan itu yang dilupakan Pak Jho Kuwi sehingga menjadikan fenomena ini sebagai bahan mendongkrak elektabilitas.

Sebaliknya, langkah Pak Jho Kuwi justru bisa jadi boomerang mengingat para milenial Dusun Indiana Raya sudah banyak menggunakan akal sehatnya untuk menentukan pilihan. Milenial Dusun Indiana Raya paham betul dan tidak perlu repot-repot mengejar gelar profesor untuk membedakan mana urusan pribadi dan mana urusan publik. Dan lagi, penduduk Dusun Indiana Raya justru kian nyata melihat ketidakpercayaan diri pada benak Pak Jho Kuwi.

Sebenarnya, menjual nama dan tampang orang-orang terdekat demi elektabilitas merupakan hal wajar di tiap perhelatan Pikun. Demi kontestasi politik semacam ini, sering ada orang memajang wajah bapaknya yang proklamator. Ada yang perlu menempelkan foto kakeknya yang tokoh ulama besar. Ada yang mencatut nama anaknya yang artis.

Dulu, aku menganggap mereka semua sebagai pembual paling tidak percaya diri. Karena aku justru bertanya kepada mereka semua, yang akan memimpinku kelak itu kamu, bapakmu yang proklamator, kakekmu yang tokoh ulama besar, atau anakmu yang artis? Dan kenapa kamu menawarkan dirimu kepadaku padahal kamu sendiri tidak percaya pada dirimu sendiri?

Di luar itu semua, ternyata sekarang aku punya pertanyaan yang lebih memilukan. Apa terlalu besar ketidakpercayaan dirimu pada diri sendiri, sehingga harus mengobral cucu demikian murah, Pak Jho Kuwi? Yang akan memimpin Dusun Indiana Raya tercinta ini kamu atau cucumu yang menggemaskan itu?

Bersambung..
Disclaimer: Kisah ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan penamaan tokoh, tempat kejadian, serta situasi dalam alur cerita, maka semata-mata hanya kebetulan saja.

Komentar