Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Tangis Silvia




Sudah genap sepekan Ibu melarangku dekat-dekat dengan koran dan menyita TV dari kamarku, menyembunyikannya ke tempat yang belum bisa kutemukan sampai hari ini. Aku tak tahu alasannya. Tiba-tiba saja Ibu mengambilnya, tanpa memberi penjelasan ketika kutanya mengapa. Rengek dan tangisku pecah, hanya berbalas senyum sesaat sebelum Ibu lenyap di balik pintu kamar, kala itu. Yang tertinggal hanya pedih, entah bagaimana harus menggambarkannya.

Sejak saat itu, satu-satunya kesempatan yang kupunya untuk nonton TV hanya di ruang tengah. Namun, Ibu juga melarangnya. Pernah sekali waktu, aku menyelinap diam-diam ke ruang itu manakala Ibu tidur. Semua penerangan sengaja kumatikan. Untungnya, aku sudah terbiasa tidur dengan kegelapan, sehingga aku tak perlu melawan rasa takut pada gelap seperti yang biasa dialami teman-temanku. Maka hanya cahaya dari layar TV saja yang menari-nari. Aku berhasil, pikirku.

Tapi sial. Benar-benar sial ternyata. Betapa tidak, belum sampai lima menit aku melepas rindu dengan kartun favoritku, sosok Ibu tiba-tiba meraih remote TV. Aku hanya melihat siluetnya, manakala ia menekan tombol berwarna merah. Sejurus kemudian ruang itu gelap gulita. Tak ada apapun yang tampak. Hanya saja, pendengaranku masih berfungsi. Dari arah Ibu tadi, terdengar sumpah serapah yang bertalu-talu, mendarat tepat pada kedua daun telingaku. 

Maka perasaan pedih itu kembali menyerbu, disusul tangisku yang menggema menyelimuti ruangan itu. Aku ingin mengadukannya pada Ayah, jika ia pulang. Ingin kuberitahu Ayah, akhir-akhir ini sikap Ibu berubah. Ibu lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, tanpa mempedulikanku. Tapi Ayah belum juga menampakkan diri di rumah. Tapi Ayah tak kunjung pulang. Tapi Ayah entah dimana, sehingga belum mampu kutumpahkan semua ini padanya.

Sebenarnya, Ayah memang sering tidak pulang sejak beberapa waktu setelah aku melihat banyak fotonya terpampang di jalan-jalan dan koran langganan, sekitar setahun lalu. Aku tak tahu kenapa banyak gambar Ayah hampir di tiap perempatan. Yang aku tahu, Ayah tampak begitu gagah. Kadang Ayah mengenakan batik. Kadang juga mukanya dihias kacamata, atau bajunya dilapisi jas, lengkap dengan peci di kepalanya serta dasi yang menggantung lugu pada dadanya.

Di tempat lain, kutemui Ayah mengepalkan tangan di depan banyak orang. Orang-orang yang ketika kuamati lamat-lamat parasnya, tak satupun kukenali mereka. Yang pasti mereka belum pernah bertamu ke rumah. Tidak seperti Paman Sutris, Bibi Lilik, atau Pakde Danco yang sering ke rumah.

Namun momen-momen semacam itu hanya berlangsung sekitar sebulan, sampai aku tak lagi melihat gambar-gambar Ayah di jalanan. Anehnya, Ibu Guru justru banyak yang memberi ucapan kepadaku ketika itu. “Selamat ya Silvia untuk Ayahmu. Semoga kelak kalau sudah dewasa bisa sukses seperti beliau,” ucap Bu Guru, suatu waktu sebelum memulai pelajaran, tanpa kutahu maksudnya.

Kala itu, tiap kali pulang dari sekolah, aku selalu terheran-heran dengan karangan bunga di depan rumah yang tiap hari bertambah banyak, hingga menutupi pagar rumah tetangga. Aku cukup terhibur meski aku tak begitu paham dari mana dan untuk apa munculnya bunga-bunga itu. Aku senang saja, karena tiap saat bisa kupetik satu-dua untuk kujadikan teman bermain.
Sejak saat itu, aku mulai sering tak melihat Ayah bermalam di rumah. Biasanya, kalau sudah tidak pulang bisa sampai 3-5 hari, bahkan pernah seminggu tidak kudengar suaranya. Tapi kini ayah sudah lebih dari seminggu belum pulang, mungkin sebulan, atau dua bulan. Entahlah, aku kurang begitu pandai berhitung hari.

Yang pasti, kepergian Ayah terasa begitu lama. Aku rindu suasana sarapan bersama Ayah dan Ibu seperti sedia kala. Kini aku lebih sering ditemani Bi Imah. Bi Imah pula yang selalu membantu membenarkan tali sepatu dan mengantarkanku ke sekolah, menggantikan Ibu yang kini selalu memasang muka tak acuh saat aku menyapanya.
***

“Yang sabar ya, Non. Ayah pasti pulang,” ucap Bi Imah tak pernah berbeda, manakala aku berkali-kali menanyakan keberadaan Ayah.

Aku seakan tak memiliki tempat nyaman saat ini. Di rumah, Ibu sudah enggan kuajak bermain, dan Ayah masih belum terlihat juga. Di sekolah, teman-teman yang biasanya bermain bersamaku saat jam istirahat, kini menjauh. Bahkan mereka menolak tiap kali sekadar kuajak menemani ke kantin. “Pergi kau, kami tidak mau dekat-dekat denganmu,” bentak Lisa, kasar.

Hari-hari berlalu, namun aku tetap terasing, seakan-akan aku ini siswa baru yang belum mengenal siapa-siapa di sekolah. Begitu pula hari ini, tatapan sinis teman-teman masih tertuju padaku saat pelajaran berlangsung. Seperti biasa, aku pura-pura tidak tahu dan terus mendengarkan penjelasan Bu Guru. Dari sudut kiri belakangku, ada saja yang iseng melempar gumpalan kertas ke arahku, tetap kubiarkan. Biasanya aku sangat antusias mengikuti pelajaran dan ingin berlama-lama di kelas. Tapi sekarang, waktu terasa sangat lambat dan aku ingin pelajaran segera selesai.

Kriiiing! Alarm tanda istirahat berbunyi, syukurlah, batinku. Kurapikan buku dan alat tulis di meja, sehingga tasku kembali mendapatkan isinya. Aku pun bergegas seorang diri, masih tanpa teman ke kantin. Namun, belum sampai langkahku di pintu kelas, telingaku menangkap suara yang menyebut-nyebut namaku.

“Silvia, tunggu!” rupanya itu suara Budi, sambil bergerak ke arahku. Aku hanya menoleh, dan terus melangkah. Tapi ia makin dekat hingga berada tepat di sampingku.

“Mari ke kantin bersamaku.”

Belum sempat aku berkata-kata, dia meraih tanganku. Tidak biasanya Budi bersikap demikian. Ada kelembutan terngiang di batinku ketika jemari kami bertemu. Perasaan itu membuatku cukup tercengang, sehingga tak sempat aku bertanya maksudnya. Maka kami berjalan saja, berdua,  ke arah kantin yang berada tepat di belakang kelas. Saat hendak berputar melalui samping kelas, Budi melepaskan genggaman, ia berhenti. Aku melihatnya membenarkan tali sepatu.

“Jalan duluan saja,” serunya yang melihatku sempat menghentikan langkah, kusambut dengan anggukan kepala.

Aku meninggalkannya beberapa langkah, namun ia kulihat masih belum beranjak. Aku berjalan terus saja, toh kami nanti akan bertemu di kantin, pikirku. Sesampainya di depan kantin, aku melihat teman-teman lain bergerombol. Aku sempat penasaran ada apa gerangan yang membuat mereka berkerumun seperti ada sesuatu. Biasanya tidak begitu.

Tak lama kemudian, rasa penasaranku lenyap setelah tiba-tiba beberapa butir telur busuk mendarat di kepala dan badanku. Kemudian, gelak tawa pecah, teman-teman menjadikanku bahan olok-olok. Belum sampai aku paham apa yang terjadi, air menyambar dari belakang, seperti hujan deras sepersekian detik. Kupandang Budi yang menyiramkannya dari ember yang entah ia dapat dari mana.
Budi terkekeh-kekeh, seiring jemarinya melemparkan sobekan koran kepadaku. Jemarinya. Jemari yang tadi berpasangan rapi dengan jemariku. Jemari yang lembut itu, kini menyiratkan duka. Duka yang menikam-nikam dada. Duka yang akhirnya mulai memberiku pemahaman tentang makna di balik kelembutan yang tiba-tiba.

Teman-teman lain mendekat dan meluapkan macam-macam perkataan yang begitu menyayat hati. Dari sobekan koran itu, aku melihat jelas ada gambar Ayah dengan tangan terikat lingkaran besi. Pakaiannya sedikit lusuh dan terdapat tulisan kecil yang masih mampu kubaca: Tahanan KPK.

“Dasar anak maling!”

“Makan dari uang haram!”

“Bikin malu sekolah!”

“Bedebah!”

Sayup-sayup ucapan senada itu menyeruak silih berganti. Sementara air mataku jatuh, bergabung dengan cairan bau yang sudah membasahi hampir sekujur tubuhku. Aku belum beranjak. Tak kupedulikan lagi olok-olok mereka. Pikiranku melayang-layang kepada Ayah, kepada Ibu. Mungkin karena ini aku tak boleh menyentuh koran dan TV. Mungkin karena ini, sikap teman-teman berubah. Ibu, sekarang aku mengerti mengapa Ibu lebih suka menyendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Bi Imah memintaku bersabar. Tapi sungguh, aku belum juga mengerti apa salahku sehingga keadaan begitu bertubi-tubi memusuhiku.

*pernah dimuat di buku antologi cerpen Sekar yang Mekar
x

Komentar