Renungan

Setiap bayang tidak selalu cerminan realitas. Ia hanya tafsir, yang bisa menampakkan beribu kemungkinan. Ia tidak mutlak benar, juga belum tentu selalu salah. Maka berdebat tentang bayang hanya memperpanjang usia kebodohan. Pada saat demikian, bijaksana perlu bekerja, mendudukkan setiap bayang dengan penuh cinta dan kerendah-hatian, hingga masing-masing ia saling memahami secara paripurna.

Sepucuk Pesan untuk Ama

Ilustrasi model hubungan tanpa status (Latif Hendra)

Dalam kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dengan pilihan-pilihan, meski sebenarnya pilihan itu tak mungkin lepas dari takdir yang telah digariskan. Sudah lazim, jika takdir menjadi tanda tanya besar bagi setiap insan yang menyimpan harapan dan impian indah tentang masa depan.

Bagiku, keputusan untuk memilih, menjadi bagian dari usaha menyingkap tabir masa depan. Tak pernah aku meragukan takdir. Namun aku yakin, memilih adalah satu-satunya jalan menjemput takdir. Tampaknya keyakinan yang seperti itu juga berlaku pada kehidupanmu. Engkau berhak memilih, tentang masa depan, tentang karier, juga tentang jodoh: aku atau yang lain.

Hampir setahun sudah kita tak berjumpa. Aku masih ingat pertemuan terakhir kita di perpustakaan kampus yang begitu megah. Tempat yang menyimpan banyak kenangan untukku, sejak pertama kali kita berjumpa. Tak kuduga, tempat ini jua yang menjadi saksi perpisahan kita, meski sebenarnya tak pernah ada kesepakatan yang jelas tentang hubungan yang kita jalani selama ini.

Lalu lalang dosen dan mahasiswa yang sibuk mencari dan membuka lembar demi lembar buku di ruangan yang cukup luas itu, membuat kita sama-sama malu untuk berbincang dengan suara keras. Aku pun malu, membicarakan hubungan kita di tengah tempat suci bagi pemburu ilmu pengetahuan.

"Mulai hari ini aku ingin lebih fokus menyelesaikan studi, ketimbang banyak bertemu denganmu Fer," ungkapmu, berbisik lirih nyaris tak terdengar.

"Sebaiknya kita bicarakan ini nanti. Setelah kita selesaikan urusan masing-masing di perpustakaan ini," timpalku, yang tak sengaja terdengar oleh Bu Heny yang melintas di samping kita.

Kemunculan dosen pembimbing skripsiku itu benar-benar membuat situasi makin tak berpihak padaku. Aku salah tingkah. Kau tampak tak peduli, pergi begitu saja meninggalkan aku dan Bu Heny yang menghampiriku. Aku tak sempat menghalaumu. Sepatah kata pun tak mampu terucap dari mulutku yang ragu memuntahkan suara.

"Eh Feri, bagaimana kelanjutan revisi Bab 3 yang kemarin dikonsultasikan? Sepertinya kamu makin bersemangat mengerjakan skripsi. Beberapa hari ini aku lihat kamu rajin ke perpus bareng Rahma," cetus Bu Heny padaku, sambil memperhatikan kepergianmu.

Aku ingat betul kala itu mimik Bu Heny langsung berubah, penuh tanya. Mungkin Bu Heny menyadari kita sedang bertengkar. Belum sempat aku membalas tegur sapanya, wanita berjilbab itu sudah pamit meninggalkanku, seakan memberi isyarat agar aku mengejarmu. Namun aku tak mampu beranjak. Entah apa yang terjadi pada kedua kakiku saat itu.

***

Kini, kurang lebih setahun sejak kejadian itu kau akhirnya menyelesaikan studimu. Meski kau tak memberi kabar sedikitpun, aku selalu memantau hari-harimu. Aku tahu engkau sudah tak berjumpa orang tuamu selama hampir enam bulan terakhir, hanya fokus bergelut dengan laptop dan tumpukan kertas menyeramkan. Kini, akhirnya kamu pulang juga. Pulang dengan tak lagi memiliki banyak beban, setelah satu tahap 'terpenting' dalam peliknya kehidupan kampus berhasil kamu lalui. Kini orang tuamu pasti bangga, punya seorang anak cantik, imut, ngegemesin, cerewet, dan kadang-kadang njengkelin, yang sebentar lagi memakai toga, menyerahkan undangan pada keluarga untuk hadir menyaksikan prosesi penyerahan ijazah yang dilanjut sesi foto bahagia.

Aku membayangkan senyum haru ibumu menyaksikan kau, sebagai anak yang pertama memakai atribut kebanggaan para sarjana. Ibu pasti sumringah jika namamu disebut pembawa acara saat wisuda, dengan panggilan Widya Astuti Rahma, SH. Belum lagi, di curiculum vitae milikmu, jika ibu membaca, pasti takjub luar biasa, pada segudang pengalaman selama melalui proses bermahasiswa, sebagai organisatoris, sebagai aktivis, selaku akademisi, juga sebagai satu-satunya wanita yang sukses mengobrak-abrik hatiku sampai dimensi yang terdalam. Tak terlupa, aku yakin ayahmu yang sedang berbahagia di manapun ia berada dan selalu dalam dampingan-Nya, juga turut merayakan keberhasilanmu. Apapun yang dikerjakan ayah sekarang di tempat indah itu, pasti beliau menyempatkan waktu untuk mengamati keseharianmu dari menit ke menit, hari ke hari. Aku yakin ayah bangga, pernah turut serta membesarkan gadis cerdas sepertimu.

Keberhasilan dan kebahagiaanmu menyelesaikan masa studi, juga mewakili kebahagiaanku, yang mungkin takkan berhasil menyabet gelar sarjana sepertimu. Jangan tanya alasanku bicara seperti ini. Engkau sudah paham tentang arti sebuah pilihan. Ama, aku yakin setelah ini kau akan memilih jalan, menelusuri seluk beluk kehidupan yang sesungguhnya. Orang sepertimu pasti tak ingin terus membebankan urusan perut pada orang tua. Pesanku, carilah kerja yang setidaknya mampu menghasilkan kebahagiaan bukan hanya untukmu sendiri, tapi juga membuat orang-orang sekitarmu kecipratan madunya, madu yang tak melulu harus berupa materi.

Satu lagi, kelak, kau pasti akan memilih pendamping hidup, sebagaimana keinginan ibu, sebagaimana penantian ibu akan calon mantu ideal, yang selama ini belum pernah kau sanggup membawa seseorang pulang ke rumahmu, untuk dikenalkan sebagai calon suamimu. Terkait ini, aku tak ingin banyak berpuitis. Rasanya sudah cukup ungkapan-ungkapan cinta dariku selama ini, meski tak kunjung mendapat balasan perasaan darimu.

Kini aku sepenuhnya sadar siapa aku. Ucapanmu tentang calon pasangan ideal sesuai kriteria ibu mungkin sulit terpenuhi. Aku tak lagi punya keinginan lulus, dengan segala pertimbangan yang mendasari pilihanku. Tak perlu pula kuceritakan bagaimana kondisi perekonomian keluargaku, pasti banyak pria lain yang sedang mendekatimu. Pria yang lebih mapan, lebih tampan, lebih jelas masa depannya dari aku yang bukan siapa-siapa ini. Pasti banyak yang memintamu menjadi kekasihnya, dengan tawaran glamor kasih sayang dan segudang harta yang siap dipersembahkan untukmu.

Aku tak mungkin menjadi pesaing orang-orang seperti itu. Dan juga, aku tak lagi menganut konsep berpacaran. Jika Tuhan memaksaku berjodoh denganmu, aku memilih langsung menikahimu. Tapi Tuhan tampaknya lebih suka bercanda dengan misteri takdir yang Dia gariskan. Terus terang, aku tak sanggup jika disuruh melenyapkan rasa cintaku padamu. Namun, aku juga tak punya hak sedikitpun untuk memaksa perasaanmu untukku. Jadi kamu tenang saja, anggap saja ucapan-ucapanku hanya angin lalu. Tak perlu kau pikirkan terlalu serius, karena aku takkan memintamu lagi dan lagi. Kini aku hanya menunggu saja kehendak-Nya. Juga menunggu kamu yang mungkin ditunjuk Tuhan menjalankan kehendak-Nya. Janjiku, takkan lagi aku bertanya soal perasaanmu. Jika memang kita berjodoh, aku menunggumu berkata siap. Aku tunggu kesiapanmu menuju pelaminan.

Saat menulis ini, aku menetapkan hati, jiwa, dan ragaku untuk siap kapanpun menikahimu. Bahkan, jika setelah membaca ini kau memberi jawaban siap, segera aku mengajak keluargaku ke rumahmu, untuk melamar, memintamu hidup bersamaku selama-lamanya. Akan tetapi, jika kau telah menjatuhkan pilihan pada pria lain, tetapkanlah hatimu untuknya. Mengabdilah padanya seutuhnya, jangan kau ingat-ingat lagi pesanku ini. Tak perlu lagi kau terbebani dengan penantianku, yang entah sampai kapan. Jangan ada sedikitpun kekhawatiranmu tentang apapun terkait aku. Aku sudah ikhlas pada apapun keputusanmu nanti.

Malang, 15 September 2015

Komentar

setetes dari teh celup mengatakan…
Uhuk.... mengenang atau mengenaskan..