Kau berpura menjadi apa yang mereka pikirkan,
menahan libido tuk menuturkan ayat eskatologi.
Kau anggap tak satupun layak membacamu,
kecuali, yang selalu menelan muntahan pikiranmu.
Aku ingin kau, sekali saja berbincang dengan mereka,
menikmati canda kesedihan dengan mereka,
bukan denganku, yang sejasad denganmu.
(Mochamad Rezha Aries Thojoyo, 2015)
![]() |
Joyo sedang berkendara |
Barangkali, baginya hidup adalah tentang pencarian. Sebuah proses, yang tak cukup sekadar membeo menirukan apa yang diucapkan orang lain. Lebih dari itu, pada setiap sikap dan tindakan yang dilakukannya sungguh mencerminkan bahwa proses mencari adalah mengamati, menandai, dan memberi inovasi.
Ia membaca pemikiran-pemikiran Mark, Lenin, Habermas, Soekarno, Pram, dan tokoh-tokoh pemikir lain. Namun, sepertinya ia risih dengan stigma Markism, Marheinism, atau isme-isme lain. Laku yang ia tunjukkan mencerminkan kalau dia memilih orisinalitas. Ia mendalami, mengeksplorasi kecenderungan-kecenderungan dirinya. Aku lebih suka menyebutnya Joyoism, sebuah pemikiran khas yang lahir dari pribadinya sendiri, berdasarkan pengalaman-pengalaman sosial dan intelektualnya.
Aku tertarik mengutip sajaknya untuk pembuka tulisan ini. Karya yang diunggah pada akun instagram miliknya itu, bagiku, sungguh relevan sebagai refleksi pencarian orisinalitas.
Kau berpura menjadi apa yang mereka pikirkan,
menahan libido tuk menuturkan ayat eskatologi.
Aku memaknainya sebagai kritik atas kemunafikan. Orang-orang lebih cenderung meninggalkan orisinalitasnya, kemudian memakai topeng, untuk meniru orang lain, agar dikira keren, agar dikira tak tertinggal isu-isu dan pemikiran mutakhir. Belum lagi, pemilihan diksi yang ia gunakan. Penggunaan kata 'libido', yang kemudian dikolaborasikan dengan 'ayat eskatologi', seakan menyiratkan pergulatan antara siklus kehidupan dan kematian.
Melalui 'libido', Joyo ingin bertutur tentang kemampuan naluriah, mengenai keinginan dan berahi seseorang sebagai manusia. Tentu, manusia yang sadar bahwa ia manusia. Sementara, 'ayat eskatologi', sungguh frasa tepat untuk menggambarkan kesejatian. Secara harafiah, Eskatologi merupakan ajaran teologi mengenai akhir zaman seperti hari kiamat, kebangkitan segala manusia, dan surga.
Dalam pandangan Joyo, libido manusia masa kini untuk menuturkan ayat eskatologi itu sengaja ditahan (atau disembunyikan). Orang-orang lebih memilih membicarakan fana, tentang nikmat keduniaan, ketimbang mencari yang sejati. Bagi Joyo, kesejatian hanya bisa lahir dari proses pencarian terhadap diri. Sebab, menurutnya, setiap manusia merupakan pribadi unik, yang lahir dari rahim ibu, setelah sebelumnya membuat perjanjian dengan Tuhan. Perjanjian itulah yang mesti dicari.
bersambung...
Baca juga: Tulisan Sebelumnya
Komentar